DUA PULUH TUJUH

1K 106 16
                                    

27. A Bad Liar.




Rasanya Sera ingin memukul kepala Shaga dengan stik golfnya saat ini juga. Beralaskan sendal rumahan yang harganya bisa membeli satu motor matic, gadis itu kembali menghentakkan kakinya dengan kesal ke atas trotoar. 

"Terus kalau begini kita gimana? Kok, bisa ajak orang keluar tapi nggak bawa ponsel?" tanya Sera berapi-api. Ia kepalang kesal setelah hampir lima belas menit Shaga berusaha memperbaiki motornya yang tiba-tiba mogok di pinggir jalan sepi ini. Membuat mereka juga tidak bisa berharap pada taxi untuk lewat. Kesialan yang sangat double disaat ia baru saja merasakan kesenangan.

"Nggak kepikiran bawa ponsel, tadi habis mandi langsung buru-buru datengin lo," balas Shaga masih tenang-tenang saja saat mengotak-ngatik motornya seraya menunggu Sera sudah siap mengeluarkan tanduknya.

"Initinya lo salah! Coba aja lo nggak tiba-tiba ajak gue kayak tadi, pasti gue pergi dengan penuh persiapan. Nggak ada acara ponsel gue juga ketinggalan kayak lo," seru Sera masih ingin terus mengeluarkan rasa kesalnya pada Shaga. Padahal tadi ia masih gembira-gembira saja saat menyakiksan penerbangan lampion di pantai. Namun, harus berakhir sial seperti ini bersama Shaga. 

"Kita jalan kaki aja ya? Bentar lagi sampai, depan sana kan jalan besar arah ke perumahan lo," ujar Shaga seraya bangkit dan menepuk belakang celana selututnya. Rambutnya yang menyentuh kening ia acak-acak karena merasa gerah.

"Gila lo ya? Yang bener aja gue disuruh jalan kaki, gue masih terima ya kalau disuruh naik motor sama lo. Tapi jalan kaki? Hell no! Nggak ada sejarahnya seorang Seraphina jalan kaki cuman karena mogok," ujar Sera setelah menolak dengan tegas. Gadis itu melipat tangan di depan dada lalu tanpa permisi naik kembali ke atar motor Shaga. "Dorong aja motornya sampai depan rumah gue."

"Yaudah, turun sayang! Gimana coba caranya mau didorong kalau ada lo duduk di atas sini Seraphina," ujar Shaga dengan senyum gemas tertahan. Sera benar-benar membuat Shaga ingin membungkusnya pulang dan dikurung di dalam apartemennya tanpa ada yang bisa lihat tingkah menggemaskan Sera ini. Sebagai gantinya ia meremas gemas pipi Sera.

"Nggak mau! Jadi cowok harus tanggung jawab, masa lo tega biarin kaki cantik gue untuk jalan. Ini yang katanya suka gue? Orang yang dia suka disuruh jalan? Nggak bermoral banget sikap lo, ini juga tangannya nggak sopan banget pegang-pegang pipi suci gue," cerocos Sera tanpa henti. 

Shaga menggeleng melihat tingkah Sera yang sangat jarang ia tunjukkan ini, akhirnya pria itu bangkit dari jongkoknya lalu melepaskan standar dan mulai mendorong motor dengan pelan. Sesekali matanya menatap Sera yang terlihat serius menatap sekitar. 

"Lo tahu, gue jarang pergi tanpa pengawasan, kalau ada musuh keluarga gue ngintai gue gimana? Lo yang pertama gue tumbalin," cetus Sera setelah kembali dari aktivitas melihat-lihatnya. Ia menatap Shaga yang mendorong motor tanpa kesusahan sedikitpun, meskipun ia sedang duduk di atas motor itu juga. 

"Gue pinter bela diri, sayang. Jadi, aman-aman aja." Shaga ini memang mengatakan hal tersebut tanpa ekspresi sombong, tetapi tetap saja di telinga Sera terdengar menyebalkan dan ingin sekali membungkam mulut pria itu. 

"Dilarang sombong di depan ketua, lo pikir lo aja yang bisa bela diri? Gue juga bisa. Gue bisa boxing, mau by one sama gue nggak?" tantang Sera yang justru menunjukkan kesombongannya lagi di depan Shaga. "Terakhir kita kelahi tulang tangan lo pasti geser, kan? Berapa lama tuh penyembuhannya?"

Shaga mengerutkan kening beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan serangan yang Sera lemparkan untuk dirinya. Berbeda  dengan Sera yang menunggu tidak sabaran.

"Semingguan kayaknya, lo emang yang paling keren. I always proud of  you, sayang." Shaga tersenyum kecil saat tidak sengaja menatap pantulan wajah Sera di kaca spion motornya. 

INVISIBLE STRINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang