DUA PULUH ENAM

1.2K 109 38
                                    

26. Her Died

~Afgan, Bunga Terakhir~


"Terkadang rasa ikhlas itu sangat mudah untuk diucapkan, tapi nyatanya sangat sulit untuk dilakukan."


____________



Shaga menenteng tasnya dengan sedikit lesuh, ia tidak punya pilihan lain selain membiarkan Sera pulang bersama Zoya. Terlebih gadis itu punya alasan sendiri ditambah dirinya memang harus mengurus surat-surat rekomendasi karena sebentar lagi dirinya akan lulus dan harus mendaftar kuliah. Sesuai rencana awal Shaga yang akan mendaftar kuliah di luar negeri. Jadinya ia harus mengurus banyak hal agar di akhir nanti dirinya tidak kebingungan sendirisendiri—walaupun tidak mungkin juga, ada kuasa keluarganya yang siap menyokong Shaga jika ia mau.

Saat melangkah menuju parkiran, seseorang memanggil Shaga beberapa kali membuat pria itu menoleh dengan wajah tenangnya. Alisnya terangkat sebelah.

"Huh... Huh... Huh... Susah banget ngejar lo! Gue harus lari dari ruang OSIS gila. Wait! Give me time untuk nafas, rasanya kayak mau mati." Maxime. Si ketua OSIS Savana yang sedang menumpukan kedua tangannya di lutut disertai napas yang terputus-putus. Peluh membasahi pelipis hingga leher pria itu.

Shaga tersenyum tipis, mengeluarkan botol air minum dari tasnya lalu ia sodorkan ke Maxime yang diterima dengan baik. Setelah usai meminum air dari botol yang Shaga berikan, ia mengembalikan botol kepada sang pemilik.

"Makasih, Ga." Shaga mengangguk tanpa suara, lalu tangannya yang memegang botol terulur untuk membuang benda berwarna hitam metalik itu ke tempat sampah terdekat, suatu hal yang berhasil membuat Maxime menganga tidak percaya. Menatap bergantian tempat sampah dan juga Shafa yang berdiri tanpa kata.

"Ga! Kenapa dibuang gila? Itu masih bagus lagi, mahal juga harganya," pekik Maxime usai selesai dari keterkejutannya.

"Untuk apa? Gue nggak suka pakai barang-barang yang udah dipakai orang lain, lagian gue masih banyak yang kayak begitu di apart. By the way, what's wrong? Gue mau balik cepat. Jangan buang waktu gue untuk hal yang berguna ya?" Jawaban santai Shaga sebenarnya menyentil ego Maxime, terlihat dari raut wajah pria itu yang sedikit berbeda, dari kerutan di dahi dengan tegangan pada rahangnya. Namun, berusaha ia tutupi dengan senyum ramah, tipe penjilat ulung yang sering Shaga temui saat acara pesta yang keluarganya adakan. Terlalu mudah.

"Isabella jabatannya udah dicopot, beasiswa yang ditawarkan sama lo, jadi lo tolak kan? Soalnya kalau lo nolak, beasiswa itu bisa dikasih ke gue," ujar Maxime dengan suara yang mengecil.

Shaga mengangguk mengerti, "Tenang aja. Keluarga gue nggak kekurangan uang buat biayain kuliah gue. Jadi, pasti beasiswanya bakalan jatuh ke tangan lo. Makasih juga udah kabulin permintaan gue."

Shaga baru saja kembali dari menemani Sera makan siang dan belajar bersama di tempat kesukaan gadis itu. Namun, langkahnya terhenti saat akan melewati ruang tata usaha yang terbuka sedikit. Awalnya Shaga tidak perduli, itu bukan ranahnya dan lagi pula Shaga bukan tipe orang yang ingin ikut campur urusan orang lain. Namun, namanya diikut sertakan. Membuat Shaga memaksa kakinya untuk bertahan dan tidak beranjak seinchi pun.

"Pak, saya mohon, Shaga memiliki banyak uang. Tanpa beasiswa yang sekolah tawarkan dia juga pasti bisa tetap lanjut kuliah di universitas bergengsi pilihannya, sedangkan saya? Tanpa beasiswa ini saya nggak bisa apa-apa pak," ujar Maxime memelas. Berapa banyak pun lomba yang ia menangkan, nyatanya masih sangat jauh dari kemampuan Shaga.

INVISIBLE STRINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang