A Reluctant Moving Out

960 56 0
                                    

Please vote and comment sebelum membaca ya, guys!

Thanks a lot!

***

AMIRA

Mobil Camry yang membawa Amira pulang akhirnya berhenti tepat di depan rumahnya.

"Terima kasih Pak Gilang atas tumpangannya." Amira bersiap untuk meninggalkan mobil sedan perusahaan ini, namun tangannya terhenti di holder pintu tatkala Pak Gilang mengucapkan hal yang sukses membuatnya merinding sebadan.

"Saya tunggu di sini sesuai perintah Pak Darius. Saya harus membawa anda kembali ke penthouse di Senopati. Saya tidak diperkenankan beranjak sebelum Anda kembali." 

Amira mereguk liurnya. Terbayang bagaimana bossy-nya Darius ketika menitahkan perintah itu kepada Pak Gilang. 

"Nggak perlu menunggu saya, Pak! Saya perlu waktu untuk mengemasi barang-barang." Amira berkilah. 

Dan sialnya, seperti paham jika Amira akan menolak permintaan konyol Darius, ponselnya seketika berdering dan di layar tertera panggilan dari bos kurang warasnya itu.

Tapi... tunggu dulu, sejak kapan Amira memasukkan nomor bosnya ke dalam kontaknya?

Amira mengangkat hpnya dan disambut dengan suara bariton bosnya yang sayangnya harus diakui terdengar seksi.

"Amira, cepat kemasi pakaian dan barang-barangmu. Seperlunya saja. Aku bisa belikan jika kurang. Jika aku mendapatkan laporan dari Gilang kamu belum tiba di Senopati dalam dua jam ke depan, aku sendiri yang akan menyeretmu kembali!" Tanpa basa basi Darius mengancamnya dan ini membuat darah Amira mendidih.

Dia hanya ingin kembali pulang bertemu kedua orangtua dan adiknya sebelum dia kembali dan menjalankan isi kontrak yang tadi sore baru saja dia tandatangani di hadapan bosnya itu.

"Pak! Saya perlu bicara dengan keluarga saya! Mana bisa saya ujug-ujug langsung pergi keluar rumah membawa koper malam-malam seperti ini!" Amira menolak permintaan bosnya itu.

Apa salahnya menginap satu malam di rumahnya sebelum dia pindah? Toh satu malam tidak akan membawa perubahan berarti bagi hidup bosnya.

Apakah Darius seorang diktator dan workaholic yang bekerja 24 jam dan Amira harus mengikuti ritme kerja gila bosnya itu?

"Saya tidak minta banyak waktu, hanya satu malam saja sebelum saya pindah. Ini semua terlalu terburu-buru. Bahkan mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada saya!" tambah Amira dari ujung teleponnya.

"Dua jam. Atau aku akan datang ke tempatmu dan menyeretmu detik itu juga. You can choose the easy way, or the hard one. Your call.

Setelah itu nada sambungan terputus dan meninggalkan Amira mematung dengan rasa frustasi yang membuncah di dadanya. Tak sadar sebulir air mata jatuh membasahi pipinya. Amira akan menangis jika di kesal dan marah. Kebiasaan yang buruk namun sulit diubah sejak kecil.  Kerongkongannya sakit, tercekat menahan air mata untuk tumpah lebih banyak.

Memang bosnya keras kepala dan tidak dapat diajak berkompromi. Amira benci akan hal itu.

Pak Gilang diam membisu di kursi kemudi. Amira sadar jika dia diperhatikan lewat kaca spion, hingga akhirnya dia menyudahi dramanya sendiri dan menenangkan diri. Dengan cekatan dia menghapus jejak air matanya sebelum membuka pintu mobil dan berjalan menuju pagar rumahnya. Menghirup nafas panjang sebelum membuka slot kunci pagar rumahnya. 

"Bu? Amira pulang," sapa Amira dari depan halaman rumah. 

Sepi. Mungkin ibu dan bapak ada di dapur.

Benar saja, ibu datang tergopoh dari ruang dapur sambil memegang celemek dan sodet di tangan kanannya.

OBSESI TUNGGAL SANG MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang