Tetap kerja

2.7K 277 8
                                    

🕵️‍♂️👩‍💻

"Ma, Audri masih nggak paham sama Mama. Mama pergi karena kecewa dan nggak tahan sama Papa, tapi sekarang ... look at all of this salon! Mama ownernya dan Mama mekap artis juga! Is not fair at all for me, Ma!" Audri masih ngomel-ngomel.

"Ya ampun, Audri. Mama udah jelasin semua, kamu tolong pahami pelan-pelan. Jangan ketutup rasa kecewa." Mama melotot, dua wanita itu sama-sama ngotot. "Mama pergi dengan kekecewaan besar ke Papamu. Papa dulu bikin Mama lepasin Papa kandungmu karena Mama merasa Papamu di Jakarta itu jauh lebih dewasa, tulus dan mapan. Nyatanya setelah Cindy lahir, mulai kelakuan Papa muncul. Mama sakit hati dan membalas perbuatan Papa."

Mama memijat pangkal hidungnya.

"Papa Mama salah, kami tau. Ada satu hal lagi, Dri." Tatapan mama sendu. Audrina diam menyimak. "Papa dan Mama sempat cerai. Cindy nggak tau. Mama pergi tinggalin Cindy sama Papa di Jakarta. Mama mau tau apa kelakuan Papa bisa berhenti karena ada Cindy. Di Bandung Mama ketemu mantan pacar Mama dulu dan ya, itu Papa kandungmu. Perasaan itu mendadak ada lagi, sampai kami nekat nikah siri. Mama hamil kamu. Saat itu Papa di Jakarta tau. Dia susul Mama, minta maaf atas semua kesalahan. Disaat yang sama, Papa kandungmu tidak ada penghasilan tetap sampai akhirnya minta Mama kembali ke Papa di Jakarta dan kami bercerai."

Audrina bersandar jengah, "drama banget, Ma. Sinetron!" kesalnya.

"Audri tolong jangan sela. Mama jujur tanpa tutupi apapun karena Mama nggak mau kamu dibilang anak haram. Paham kamu?!" Mama tegas kali ini. Audri menundukkan kepala.

"Mama rujuk dengan Papa di Jakarta, rumah tangga kami kembali normal juga Mama mulai ada harapan baik. Komunikasi dengan Papa kandungmu sebatas tanya kabarmu, udah kesepakatan kami. Mama berpikir kalau Papa di Jakarta bisa dikasih kesempatan taubat. Mama capek dengan banyaknya selingkuhan Papa sampai Magdalena hadir. Papa serius berhubungan sama dia sampai keuangan kami berantakan."

Semua semakin masuk diakal Audrina juga Ijal.

"Magdalena punya niat buruk. Mama udah ancam Papa kalau sampai Magdalena semakin berani, Mama nggak segan hancurin karir Papa. Tetapi Papa gelap mata karena dia. Mama nggak kuat menahan semuanya, Dri. Mama sendiri hancur, hampir gila, karena menyesal pergi dari Papa kandungmu sampai ada Kika juga. Sekarang, Mama mau tebus semua rasa kecewa, sakit hati dan marah Mama dengan membahagiakan diri sendiri. Kejar apa yang mau Mama capai."

"Tapi tinggalin anak-anak, ya, Ma," sinis Audrina.

Mama tersenyum, "kamu boleh marah atau kecewa ke Mama, Dri. Akan tetapi, kamu harus tau kalau Mama selalu nggak bisa tidur karena mikirin kamu. Apalagi saat tau Cindy pergi. Mama mau pulang, tapi Mama malu sama kalian. Mama juga sudah cerai dengan Papa di Jakarta."

Audrina pusing, ia pijat pelipisnya.

"Mama, Audri cuma mau punya keluarga normal, Ma. Kenapa ceritanya jadi kayak gini, ya ampun."

"Nggak semua anak, bisa ada di lingkungan keluarga yang normal, Dri. Mungkin diantara lima puluh responden, cuma kamu yang nasibnya kayak sekarang." Mama mengatur napasnya lagi karena tau Audri masih kelu untuk berkomentar.

"Audri," panggil Ijal. Kepala Audri terangkat menatap suaminya yang duduk bersebrangan dengannya. "Budaya negara kita memang tabu dengan hal kayak gini, tapi di negara lain banyak. Kita coba berpikir netral dan luas, Dri. Mama juga nggak mau kayak begini."

Ijal masih menatap lekat Audri yang menghela napas panjang lagi. Mama memperhatikan dari samping, ia menggenggam jemari tangan Audri lagi.

"Mau ketemu Papa kandung kamu?" tawar mama. Audri mengangguk. "Sendiri, ya, Mama masih ada kerjaan. Papa lagi di Bandung sampai sabtu, kamu mau ke sana atau gimana?"

Audri masih belum tau. Ia justru bertanya ke mama, saat pernikahan Kika, apa akan hadir. Nyatanya mama tak mau datang, karena ingin bersikap adil juga supaya Kika bisa dewasa menyikapi rasa kecewa. Mama sadar, ia mendidik anak-anaknya dulu dengan semua hal menyenangkan, padahal hidup tak selalu seperti itu. Rasa kecewa, bisa menjadi kekuatan baru untuk berharap mendapatkan hal yang menyenangkan, semangat meraih hal tersebut juga.

***

"Saya sampai nggak bisa kasih pendapat banyak, Dri. Keluarga kamu unik." Ijal dan Audri makan malam di depan toko yang sudah tutup dengan menu nasi goreng. Tak ada gurat kecewa dengan kenyataan keluarga Audrina, justru tampak bahagia.

"Jal, saya yang malu," lirih Audrina dengan kepala tertunduk.

"Udah, jangan begini. Kita makan malam dulu, terus ke hotel buat istirahat," usul Ijal. Audrina hanya bisa menganggukkan kepala.

Makan diselingi obrolan ringan, banyak orang yang juga makan di sana.

Terdengar suara orang-orang berteriak dari arah kanan. Satu mobil melaju super kencang, lalu tiga orang berlarian seperti menghindar.

"Kejar ke sana!" teriak beberapa orang yang berlarian. Ijal berdiri cepat, berjalan keluar warung tenda. Setelah mendengar obrolan orang yang mulai ramai, insting Ijal bekerja.

"Dri, stand by HP kamu!" teriak Ijal kemudian berlari meninggalkan Audrina begitu saja. Audrina hanya bisa melongo tak percaya.

Ijal ikut berlari mengejar. Klason  mobil bersautan. Jalan raya utama jadi semrawut.

Terus berlari mengejar hingga masuk ke pemukiman ramai warga.

"Ada apa ini!" teriak warga. Ijal tak peduli, ia terus berlari tanpa menyerah. Pengejaran berakhir di jalan buntu. Ijal bekuk satu orang itu, lalu memelintir tangan ke belakang.

Beberapa polisi sesama intel karena memakai pakaian bebas meminta Ijal melepaskan. Ijal mengeluarkan lencana yang selalu dibawa.

"Jal!" Suara seseorang berteriak memanggil. "Kok di sini?" sambungnya.

"Honeymoon," katanya santai. "Nih, bawa, sebelum habis sama gue. Barbuk aman, kan?" Ijal mendorong terduga pelaku ke temannya.

"Aman, Jal. Cuma bandar cerenya kabur. Pake mobil tadi."

Oh, mobil yang ngebut kencang tadi.

Masih terlihat ngos-ngosan, Ijal menepuk bahu temannya lantas berjalan ke tenda nasi goreng.

Di sana Audrina masih duduk sambil makan. Ijal kembali, disapanya Audrina yang cemberut.

"Maling apa?" gumam Audrina.

"Narkoba. Tapi bandarnya kabur."

Audrina bertopang dagu dengan tatapan lurus ke Ijal. "Terusss?" Nada bicaranya datar.

"Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa. Kirain saya di Jakarta aja kamu kerjanya. Sampai di Semarang, kamu masih kerja juga. Mengabdi buat negara total ya, Jal."

Ijal mengernyit, "kamu kesel? Apa marah?"

"Nggak. Biasa aja."

"Raut muka kamu nunjukin kalau kamu nggak seneng," ujar Ijal mulai BT.

"Aku cuma lagi capek aja, Jal. Yaudah makan, habis ini kita ke hotel." Audrina menghabiskan es teh manis pesanannya.

"Apa kamu mulai jengah jadi istri intel? Kamu mulai kayak Pingkan?" tuduh Ijal. Audrina tak percaya dengan kata-kata suaminya sampai harus tertawa sinis.

bersambung,

Secret Service  (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang