Dinas lama

3.2K 305 6
                                    

🕵️‍♂️👩‍💻

"Begitu ceritanya Bapak Intel," tutup Audrina setelah menjelaskan kronologi ia ikutan menyergap pembunuh Bunga.

"Oke. Tapi itu bahaya, Dri! Jangan kayak gitu lagi." Ijal sewot. Mereka duduk sambil menonton TV setelah sama-sama selesai mandi. Audrina beranjak, ia mengacungkan ibu jari ke hadapan Ijal.

"Lagian seru, tau, Jal," tukasnya seraya berjalan ke arah dapur. Belanjaan belum selesai ia rapikan. "Kamu kenapa sewot gitu?"

Ijal menoleh ke arah dapur. "Saya nggak mau jadi duda. Belum hamilin kamu."

Audrina menoleh cepat. "Mulutnyaaa, ya ampunnn," jengah Audrina seraya mengusap wajah.

Ijal terkekeh seraya menggigit donut yang tadi mereka beli saat makan siang di mal. Audrina awalnya tak mau karena Ijal tampak dekil, tapi suaminya memaksa, akhirnya ia nurut walau selama makan orang-orang sering melirik ke arah mereka.

"Jal, saya nggak yakin bisa jadi Ibu yang baik. Urus diri sendiri aja belum becus." Audrina bicara sambil menata belanjaan.

"Kata siapa. Belum dijalanin udah komen kayak gitu ke diri sendiri. Nggak baik." Pandangan Ijal mengarah lurus ke televisi yang menayangkan series amerika tentang kriminalitas.

"Kita harus tetap bikin anak, Jal?" tukas Audrina lagi.

"Mau? Ayo," tantang Ijal. Keduanya saling beradu tatap, lantas tertawa kompak. Tak ada yang siap, mereka sama-sama belum paham rumah tangga keduanya akan tumbuh benih-benih cinta atau tidak.

"Dri, kamu tau kalau Papa saya mantan pelaku korupsi?"

"Iya tau. Udah baca semua artikelnya."

"Nggak malu?"

"Nggak. Kenapa harus malu? Papa kamu kan terima bonus yang ternyata suap, sumber dana dari mana juga nggak tau. Konsekuensi ikut keseret pada akhirnya. Kenapa nanya-nanya gitu?" Audrina menata beras ke dalam wadah khusus yang nanti tinggal pencet tombol keluar takaran berasnya di gelas kecil.

"Kirain, takutnya malu."

Audrina ingat sesuatu, ia memutar tubuh menghadap Ijal lantas bersandar pada meja dapur.

"Kamu sendiri? Beneran Intel? Apa mesin pembunuh?"

Ijal menoleh, ia diam beberapa detik. Menerka-nerka Audrina kenapa bisa bertanya begitu.

"Kamu ... habis ketemu siapa?" Ijal tak melepas pandangan. Gantian Audrina yang cerita siapa yang ia temui saat di bengkel. Ijal diam, ia belum siap menjelaskan. Memang, ada sedikit sisi kelam saat ia bekerja menjadi orang kepercayaan Abdinegoro, untuk itu ia memilih diam.

Audrina juga tak memaksa, biarkan Ijal nanti menjelaskan sendiri.

"Dri, kamu indigo keturunan atau apa? Saya jadi pingin tau." Ijal duduk santai, keduanya bicara berjarak tapi suaranya masih terdengar jelas.

"Oh, itu. Ya ... keturunan, dari keluarga Mama saya."

Mama? Ijal tau Audrina tak memiliki hubungan baik dengan mamanya.

"Kakek Nenek saya, mereka yang bisa. Ternyata nurun ke saya. Gelang ini," jeda Audrina seraya mengangkat tangan, Ijal mengangguk. "Ini salah satu penahan saya supaya nggak gampang jadi media mereka yang nggak kelihatan. Gelang turun termurun."

"Kamu pernah kesurupan?"

"Dulu, waktu kecil sampe remaja. Setelah saya diungsikan ke rumah Kakek Nenek, saya dijelasin semuanya ... saya tau kalau ternyata saya nggak gila. Papa yang nggak percaya, sampai detik ini. Katanya saya stres dan halusinasi." Audrina lanjut merapikan sabun-sabun ke rak di ruang cuci.

Secret Service  (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang