Jejak masa lalu

2.6K 285 13
                                    

🕵️‍♂️👩‍💻

"Jangan ada sentuh dia!" teriak lantang Ijal. Pukul dua pagi ia dan Audrina datang ke Polsek atas informasi rekan Ijal yang mengatakan jika salah satu pelaku tertangkap.

Audrina memakai sweater bertudung, serasi dengan Ijal karena sama-sama berwarna abu-abu.

Tiga polisi yang mengintrogasi hampir melakukan tindakan kekerasan. Ijal tau, itu karena terduga pelaku tak mengaku.

Ijal dan Audrina saling menatap, saat di jalan tadi keduanya sudah menebak pasti ada yang aneh. Benar saja, pria itu bukan dua pelaku yang sebenarnya.

"Biar saya yang introgasi," perintahnya ke dua polisi tanpa seragam itu. "Kalian ketemu di mana?" Ijal duduk, Audrina tak berwenang di sana jadi memilih duduk di luar ruangan setelah melihat pria itu.

"Informan kita kasih tau, dia di rumah Neneknya."

Ijal melirik tajam, ia akan tegur dua orang polisi nanti. Ijal tau mereka bukan dari unitnya dan bisa dibilang masih belum pengalaman karena baru jadi intel.

Oke, tak mengapa. Ia akan ajari nanti bagaimana supaya tidak salah tangkap.

"Tolong anda jawab jujur." Ijal langsung bertanya, wajah pria itu awalnya santai juga pasrah hingga perlahan menatap nanar Ijal.

"Saya yang merampok," miris pria di hadapan Ijal yang duduk dengan memasang raut sedih. Ijal masih diam, sedetik kemudian meminta dua orang tadi keluar. Hanya ia dan pria itu di dalam ruangan kecil.

Dua polisi mengangguk patuh, setelah keluar lantas menutup pintu, Ijal tersenyum. "Saya minta anda jujur, Mas Andi." Ijal membaca data pribadi pria di depannya.

"Saya jujur, Pak."

"Dibayar berapa kamu suruh ngaku?" Ijal meletakkan map dengan kasar ke atas meja. Andi berjengkit dalam posisi duduk.

"Anda pikir dengan mengaku sebagai salah satunya bisa enak nikmatin uang itu. Dibayar berapa." Wajah Ijal serius, tatapannya menyorot galak.

Andi menoleh ke arah kanan, pintu kaca itu masih menunjukkan dua polisi tadi berdiri di luar sana memperhatikannya.

Kedua bahu Andi merosot, "saya ... butuh dana itu untuk biaya pengobatan keponakan saya yang mau operasi juga biaya sekolah, Pak."

"Kok bodoh. Saya tanya, dibayar berapa. Jawab itu aja."

Andi menatap Ijal, bibirnya kelu karena ingat diancam jika mengaku. Namun, Ijal memastikan jika ia akan aman.

"Baik, Pak. Saya dibayar seratus juta." Kepala Andi tertunduk.

"Oke. Sekarang cerita ke saya semuanya." Ijal siap mencatat beberapa hal.

Andi bercerita panjang lebar, Ijal sudah yakin pasti ulang dalang itu.

"Terus kenapa tadi sempat nggak mau ngaku anda pelaku. Hampir anda dikasari dua polisi tadi."

"Saya disuruh seperti itu sama mereka, Pak. Supaya Polisi nggak curiga kalau saya langsung ngaku. Pak ... tolong jaga keluarga saya dan saya, Pak. Saya takut," nanar Andi.

"Pasti. Selama anda kerja sama dengan saya pribadi dan sementara di sini dulu. Saya akan infokan ke kedua polisi tadi juga supaya amankan anda. Bisa ikuti arahan saya?"

Andi patuh, ia menyesal telah menerima bayaran dari pelaku asli karena terhimpit ekonomi.

Ijal keluar ruangan, mengajak bicara dua polisi tadi lantas kepala Polsek di sana yang ia hubungi via ponsel.

Audrina menatap Ijal yang kini mengajaknya ke markas besar kepolisian tempat Ijal bekerja. Ia akan berkoordinasi dengan unitnya untuk menangkap pelaku sebenarnya. Tak akan menunda lagi.

Secret Service  (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang