Dapur saksi bisu

3.6K 298 9
                                    

🕵️‍♂️👩‍💻

"Saya nggak tau kalau susah cari informasi dan bukti di sini, Dri," tutur Ijal saat ia berjalan kaki menuju kantor.

Audrina sendiri sibuk membersihkan rumah, ia menelepon Ijal sambil menyapu lantai.

"Udah delapan hari di sana masih zonk?! Intel apaan kamu?" ledek Audrina.

Ijal berhenti melangkah. "Apa?! Apaan tadi kamu bilang?!"

"Kamu intel payah."

Ijal mendesah. Ia memandangi sekitar jalan raya besar di sana.

"Mereka main rapi, Dri, saya udah pakai cara macam-macam sampai semalam alasan lembur buat tembus ke database kantor masih susah."

"Hm ... belum ada cara nekat kamu berarti."

"Nekat gimana?"

"Kamu bisa cari informasi dari orang yang sering komunikasi sama kepala cabang di sana. Bikin list namanya, kamu perhatiin detail. Nggak mungkin nggak ada yang sering keluar masuk ruangan dia atau ... bisa kamu cek biasanya tanggal berapa motor tarikan yang gagal bayar didatengin depkol? Dari situ kamu bisa telusurin. Satu lagi, ini agak serem, sih."

"Serem gimana?" Ijal ingin tau.

Audrina meletakkan sapu di tempat semula, lantas ia duduk di meja makan. "Well, kamu bisa buka omongan soal motor lelangan itu bisa dijual lagi dengan harga tinggi tapi uangnya  nggak perlu masuk perusahaan. Anggap aja kamu lagi pusing cari uang karena butuh buat apa gitu, lah. Dari situ saya rasa kebuka informasi dulu. Selama di sana kamu selalu cari dokumen, kan? Itu nggak akan bisa kamu dapat kalau menurut saya, Jal."

Ijal teringat beberapa orang yang sudah ia perhatikan di kantor itu. Gerakannya harus sedikit agresif memang jika menurut saran Audrina.

"Jal, halo ...," panggil Audrina.

"Dri, saya ada ide tapi maaf kalau kamu nanti tau dan saya harap kamu nggak akan marah."

"Emangnya apa?"

"I call you latter, i have to go, bye, Dri!" Ijal memutuskan percakapan sepihak. Audrina menatap ponselnya lalu ia letakkan di sofa. Ia masih harus menjemur pakaian. Kegiatannya hari itu memang di rumah karena sisa tiga bab harus ia kirim sore hari. Magdalena juga menyarankan Audrina di rumah supaya fokus.

7 hari kemudian.

"Audrina!" teriak Ijal menghindar dari lemparan bantal sofa. "Saya udah bilang kamu jangan marah, kan?! Ide kamu berhasil dan sekarang mereka diperiksa! Its work! Dan saya berterima kasih sekali dengan kamu!" Ijal kembali menghindar.

"Iya tapi nggak harus kamu deketin Rina! Kamu nonton sama dia! Kamu ciuman sama dia! Ijal! Ci ... u... man! Gila kamu!" amuk Audrina.

"Sorry, Dri ... tapi saya dapat semuanya dari dia, semua informasi karena Rina ternyata mantan pacar anak kepala cabang itu!" seru Ijal. Napas Audrina kembang kepis, dadanya naik turun.

"Kamu ... cemburu?" Ijal meletakkan bantal di atas sofa.

"Nggak. Nggak cemburu. Cuma kesel kamu intel cari untung!" pelotot Audrina.

"Cari untung apa, Dri?! Saya jujur udah cerita ke kamu. Saya bisa pulang lebih cepat karena ide kamu itu!" Ijal terus menjelaskan. "Apa alasan kamu marah, kita bahas baik-baik."

Audrina menghempaskan tubuh ke sofa. Ia diam menatap Ijal yang masih merapikan bantal lain, ia tata di sofa lagi. "Iya juga ya, Jal, ngapain saya marah gini. Kaget aja sih sebenernya."

"Yakin kaget doang?" lirik Ijal.

"Iya, yakin." Audrina memejamkan mata, lelah juga marah-marah.

"Saya harus ke kantor untuk bikin laporan, saya tinggal lagi nggak masalah?" Tatapan Ijal terlihat tak enak hati dengan Audrina.

Secret Service  (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang