##2

56 36 7
                                    

       Jujur berdiri di depan kelas ini, lama-lama kaki Gua gemetar juga, menyimak pembicaraan yang tak bermutu menurut Gua.

       "Saya sudah boleh duduk Buk?"

       "Nomor HPnya belum Sayang." cegat cowok yang duduk paling depan, sejajar dengan Funny.

       "Petir! Sudah!"

       "Nama Saya Halilintar Buk!".

       "Hah! Sama saja itu. Gecia silahkan duduk dimanapun Kamu suka."

       "Terima kasih Buk."

       "Lo duduk sebelah Gua aja, disini kosong kok." tawar Halilintar.

       "Oke, makasih."

       "Sama-sama, Lo bisa panggil Gua Lintar, nanti Gua bantu kenalin ke yang lain."

       "Boleh-boleh." ujar Gua setuju.

       "Buk, gak sopan manggil murid kayak gitu, itu khusus kita-kita aja yang manggil." Si cewek yang mengomentari nama Gua tadi, sekarang komen pada Buk Aiza.

       "Kok Ibu gak boleh, emang kenapa Zuyi?"

       "Gak jadi deh Buk." Zuyi menggantung argumennya, Zuyi ini tipe orang yang misal dia disanggah langsung diam.

       Buk Aiza berdiri dengan spidol di tangannya ingin menjelaskan.

       "Buk!" Lilo berteriak, berlari dari belakang ke depan meja Buk Aiza.

       "Astaga, apalagi Lilo? Ngapain Kamu disini?" Buk Aiza kaget posisi Lilo tiba-tiba di hadapannya.

       "Coba ulang lagi perkataan yang tadi ke Saya, Buk."

       "Ngapain Kamu disini?" tanya Buk Aiza.

       "Bukan, yang bagian Buk Aiza waktu minta Gecia duduk."

       "Silahkan duduk dimanapun kamu suka."

       "Yasudah Buk, Saya duduk di kantin aja lah Buk." Lilo langsung menuju pintu keluar.

       "Heh! Gak ada! Lilo duduk di kursi kamu, atau Shuji yang tarik kamu duduk." Buk Aiza berkata dengan logat manjanya.

       "Habis Gua, gak deh Buk Saya bisa duduk sendiri." Lilo memutar tubuhnya secepat kilat.

       "Bagus." ujar Buk Aiza menahan tawa.

       Buk Aiza menjelaskan pelajaran Fisika dengan pembawaannya yang seru, semua murid terhipnotis fokus pada penerangan materi di papan tulis. Bahkan Gua sendiri baru kali ini merasa minat dengan pelajaran Fisika, padahal salah satu pelajaran yang paling gak Gua suka adalah Fisika.

       Fisika adalah pelajaran yang penerapannya pada hal-hal nyata, tapi Gua gak suka kerumitan rumus-rumusnya. Untuk mencari satu jawaban kita harus mencari dengan rumus-rumus turunannya, sangat memusingkan otak, kalau saja ada sumber api di dalam kepala, bisa dipastiin otak Gua udah gosong.

       "Lo mau keliling Sekolah? Gua bisa bantu Lo mengenal lingkungan Sekolah ini atau Lo mau dibantu sama yang lain?"

       "Boleh, sama Lo aja, Lo gak keberatan kan?"

       "Menurut Gua gak bakal berat sih kalau Lo gak minta gendong."

       "Hahaha, Lo bisa aja ya. Yaudah, Ayo."

       Halilintar mengajak Gua berjalan keluar kelas memperkenalkan letak ruangan mulai dari ruang seni hingga toilet sekolah.

       Gua cukup kaget mendengar jumlah kelas IPS lebih banyak dari kelas IPA.

       "Ada yang mau Lo tanyain?"

       "Gua cuma ngerasa heran sih, kenapa kelas IPS lebih banyak."

       "Mungkin disini lebih banyak peminat ingin jadi akuntan, ingin kuliah bidang hukum dan hubungan internasional. Rata-rata Gua dengar alasan mereka masuk IPS karena hal itu. Selain itu, siswa disini lebih dominan cowok."

       "Lo sendiri?"

       "Gua masuk IPA karena mau ngambil profesi Bidan."

       "Hah?"

       "Becanda, orang kebidanan baru lihat Gua ingin ngedaftar, langsung dimasukin RSJ kali Gua. Karena udah banyak yang masuk IPS, kasian Gua sama IPA."

       "Alasan Lo gak ada yang masuk akal."

       "Gecia, Gecia, Lo sendiri yang berpikir kayak gitu! Lo mau ke kantin?"

       "Uang Gua dalam tas." Kami berdua berjalan kembali ke arah-arah yang telah dilewati.

       Baru memasuki kelas, Halilintar dipanggil Shuji dan Funny bergabung ke meja belakang untuk menyaksikan Zuyi dan Lilo bermain catur, Halilintar ikut membawa Gua bergabung dengan teman-temannya.

       "Ikut Gua, biar Lo lebih akrab sama mereka." Kami berdua ke belakang, Halilintar menarik satu bangku untuk Gua duduk.

       Sekarang meja Shuji dan Lilo sudah dikelilingi oleh Kami semua untuk menyaksikan pertandingan catur antara Zuyi dan Lilo.

       "Lo harus menang, kalau Lo gak menang, Lo harus cium telapak kaki Gua." ujar Shuji menantang Lilo.

       "Dih enak aja, kenapa jadi telapak kaki Lo." protes Lilo akan taruhan yang dilontarkan Shuji.

       "Gak! Gak ada taruhan, Gua gak mau jadi saksi dosa judi Lo di akhirat." Halilintar menarik Zuyi untuk duduk kembali.

       "Hello, Kalian semua ya, gak ada yang bisa diajak bercanda." Shuji memutar bola matanya jengah.

       Tiba-tiba Kemal masuk kelas bersama siswa laki-laki, hingga mengalihkan semua pandang mata padanya. Sangat tidak tertib sekali jika dilihat dari seragamnya yang acak-acakan, siswa bandel.

       "Fagrel, si hobi telat. Tidak peduli waktu, jam aja ditidurin." ungkap Shuji.

       "Fagrel! Gua ada obat hilangan ngantuk buat Lo nih. Sini gantiin Gua! Lawan Zuyi. Kalau kalah, Lo cium telapak kaki Shuji." Lilo memberikan tantangan Shuji tadi pada Fagrel.

       "Kalau Gua yang menang, Lo harus cium semua pantat sapi bapaknya Kemal."

       "Grel, Lo jago banget soal tantangan, kebetulan sapi bapak Gua baru nambah lima ekor." Kemal malah semangat dengan tantangan yang diusul Fagrel. Lilo membelalakkan mata mendengar ujaran Kemal yang terdengar tak bercanda.

       "Gua gak mau main." Zuyi langsung berdiri dari tempat duduknya dan berdiri di sebelah Kemal.

       "Gimana Lilo? Zuyi mengundurkan diri, otomatis Lo harus cium seluruh pantat sapi peliharaan bapak si Kemal." Fagrel merasa kemenangan, membuat Gua merasa jijik dengan sikapnya dari awal dia datang.

       "Gua mau main." tegas Gua mengejutkan semuanya apalagi Halilintar.

       "Hai, manis, cantik, indah, ayu." sapanya ke Gua.

       "Panggil dia Gecia, Grel." kata Funny.

       "Itu singkatan nama dia, nama lengkapnya Geysa Omorfia Cynthia Amanda." ujar Kemal menimpali.

       "Geysa panggilan yang bagus, Gecia bukan singkatan yang jelek, tapi Lo lebih cocok dipanggil dengan nama tengah Omorfia."

       "Bisa jangan memanggil begitu?"

       "Bukannya Omorfia bagian dari nama Lo? Lo benci nama Lo sendiri? Kenapa?" tanyanya mengintimidasi Gua.

       "Lo mau main kan?" tantang Gua mengalihkan topik.

       "Jelas, ayo lawan Gua!"

Terima kasih Imajinasi [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang