#20

102 56 11
                                    

       Gua ingin sekali ketemu Papa, tapi masih berat hati setelah menerima kenyataan yang sesungguhnya. Bahkan Gua sangat malu untuk berangkat sekolah, kepala Gua emang nyeri tapi lumayanlah setelah istirahat cukup tadi malam. "Kamu kalau belum terlalu pulih jangan dipaksain ke sekolah." Kak Yuni masuk begitu saja setelah membuka pintu, lalu Kak Ari mengekor di belakang.

       "Kok masih di sini? Gak berangkat sekolah?"

       "Ngomong kesiapa? Gua?" tanya Kak Ari, mungkin dia tidak nyaman karena Gua tidak menyertakan panggilan Kak untuknya.

       "Kakak minta dia tidur di sini kemaren Gey. Katanya dia mau ambil jatah cuti."

       "Baru dengar, ada anak sekolah pakai jatah cuti." gumam Gua.

       "Ulangi bicara Lo Gey! Kita Kakak Lo."

       "Hmm, Gey mandi dulu, Kak Yuni sama Kak Ari bisa keluar dulu?" tanya Gua tanpa ekspresi.

       "Gak usah dipaksain sekolah dulu Gey, nanti surat izin Kamu diantar Ari aja."

       "Gak usah egois, kondisi Lo lagi gak baik-baik aja. Emang mau diliatin ke seluruh orang kalau Lo lagi kacau, mending libur. Gua aja libur, soalnya kemaren kurang istirahat gara-gara jagain Lo."

       "Ari! Kamu keluar saja."

       "Kak, gak usah terlalu dimanja."

       "Apa sih Kak Ari, mending Kak Ari keluar! Gey gak ada minta Kak Ari di sini, Gey bahkan gak mau Kak Ari serba tahu tentang kehidupan Gey, Kak Ari cuma tetangga."

       "Hasil kemanjaan Kak Yuni, begini nih." Kak Ari keluar meninggalkan Kami berdua, dia terlihat sangat kesal karena Gua gak menganggapnya.

       "Kamu istirahat aja Gey, nanti surat izin kamu Kakak yang urus, pulihin dulu diri kamu. Sarapannya dimakan ya, kamu punya magg."

       "Terima kasih." jawab Gua tanpa menatap Kak Yuni, lalu dia keluar dan menutup pintu kamar hati-hati.

       Gua menghapus air mata Gua yang turun lagi, padahal kemaren malam udah bikin perjanjian sama mata. Kalau dia masih terbuka besok, gak bakal banjir lagi.

       "Ckk, stop, gak boleh kayak gini. Gua sekolah gak ya, masih bingung. Akkhhh." Gua membenamkan kepala di bantal agar tidak ada yang mendengar tangis Gua

       Gua mendengar suara-suara perempuan bernyanyi, ternyata Zuyi dan Arma sedang mendengarkan lagu di laptop Zuyi, laptop Zuyi itu ciri khasnya unik, banyak stiker little pony disana.

       "Udah bangun adek cantik?" Zuyi bangkit dan mendudukkan diri di tepi ranjang Gua.

       "Kita ke sini disuruh Kak Yuni, kata Kak Yuni dia ada urusan penting. Pesan Kak Yuni, makan siang Lo jangan sampe gak dimakan." kata Arma yang sudah melihat kebingungan Gua, menatap mereka berdua.

       "Emang Lo ada masalah apa sih Gey? Kak Yuni cuma kasih tahu masalah keluarga, tapi Kakak Lo gak berani cerita entar Lo ngamuk, emang apa sih, Lo tau kan Gua ini maha kepo." Zuyi kembali duduk di karpet bawah dan menukar lagu di laptopnya.

       "Bibir Lo kalau gak bisa di rapatin dulu, bisa Gua lakban mau?" Arma melototkan mata ke Zuyi.

       "Sorry, Gua belum bisa cerita." Gua ngerti maksud mereka kemana, pasti mereka kepo sama masalah keluarga yang lagi Gua alami.

       "Santuy aja kali Gey, kita juga cuma bercanda doang." ujar Arma tersenyum.

       "Iya Gey, cuma kalau Lo butuh tempat cerita, Kita bisa dipercaya kok, kapanpun."

       "Nah! Benar tuh. Eh, kalian tau gak si, ternyata Daddy Gua teman dekat Papa Lo Gey. Dia udah lama gak ketemu Papa Lo. Agak aneh juga ya, Lo bestie Gua, yang ternyata orang tua kita saling kenal. Katanya lagi, waktu kecil Gua pernah ketemu Lo di acara pernikahan teman bokap kita, dan itu di kota kelahiran Lo."

       "Hmm iya, jadi kangen kota kelahiran Gua! Kak Yuni bawa Gua sekolah ke sini, Ibu kota. Kak Yuni itu pintar berpendidikan tinggi, wajar difasilitasi keluarga, keluarga besar kami menolong bisnis Kak Yuni disini karena mereka percaya sama Kak Yuni, bahkan Gua dengar-dengar Kak Yuni buka dua cabang di Sumbar tanpa bantuan keluarga, panutan memang." jujur Gua sedikit bercerita, walau Gua belum bisa terbuka sepenuhnya, Gua rasa mereka juga ngerti.

       "Pintar ya Kak Yuni. Oh ya Gey, kerkom besok Lo ke rumah Grel. Lo masih ingat kan alamat Grel." tanya Zuyi.

       "Ya aman itu." acung jempol Gua ke Zuyi dan berjalan ke nakas mengambil makan siang lalu duduk di bawah bersama mereka.

       "Kalau Lo masih kerasa kurang enak badan, Lo izin aja Gey." ujar Arma memegang dahi Gua.

       "Suhu badan Gua normal kali, Lo tenang aja. Oh ya Lo gak bimbel nih?"

       "Gak, Gua udah gak bimbel."

       "Loh?"

       "Gua privat di rumah. Kata Daddy sih, selagi nilai Gua aman, Daddy Mommy percaya-percaya aja sama Gua. Jadi, yang ngatur jadwalnya Gua sendiri, berkat Kak Yuni juga sih, mereka berbincang cukup lama tapi Gua gak ikut, disuruh langsung ke kamar." Arma menggerutu tapi senang karena dia sepanjang dia berbicara, dia selalu tersenyum.

       "Berarti Lo udah dapat kepercayaan yang tinggi dari Mommy sama Daddy Lo." Zuyi kaget mendengar ucapan Arma.

       "You rigth." setelah itu kami bertiga berpelukan tertawa-tawa, lagian ngapain Gua masih sedih kan? Di sini orang-orang yang sayang sama Gua sudah ada.

       "Jangan pernah ngerasa sendiri ya Gey." bisik Zuyi ke telinga Gua.

       "Hmm, makasih ya kalian selalu bikin mood Gua balik."

       "Itulah Gua sama Arma, kalau mood Lo lagi baik, kita bakal ngehancurin mood Lo. Kalau mood Lo gak baik kita bakal ngehidupin mood Lo lagi."

       "Bisa aja Lo!"

       "Lo gak mau cuci tangan dulu?" tanya Zuyi setelah kami melepas rangkulan bertiga.

       "Lo yang hadang dia berdiri tadi." Arma memukul bahu Zuyi hingga tubunya terhuyung ke samping.

       "Hehehe, sorry. Pergi sana!" Zuyi mendorong Gua ke arah kamar mandi.

       "Sekalian mandi kalau bisa Gey, ketek Lo bau belum mandi dari pagi." teriak Arma lalu tertawa bersama Zuyi.

       "Kalian ya, yang meluk Gua. Gua mah terima aja." Gua mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi, mungkin mandi akan membuat tubuh Gua lebih segar. Nyenyak banget Gua tidur, bahkan Kak Yuni pergi aja Gua nyampe gak tahu.

Terima kasih Imajinasi [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang