"Shhyt sayang, Omorfia, dengarin Bunda ya." ujarnya mengelus-elus rambut kepala Gua, Gua menggeleng-geleng tak ingin mendengar.
Gua dengan sekuat tenaga berdiri dan berlari ketakutan agak menjauh karena wanita yang duduk bersama Bunda Namira tadi mulai mendekat.
"Stop! Tenang disitu! Atau, keluar!" teriak Gua setelah berhasil lepas dari pangkuan Bunda Namira.
"Omorfia." panggil wanita itu lembut.
"Apa? Anda tidak pantas menyebut nama itu." amuk Gua menggebu-gebu.
"Omor! Jaga bicara kamu! Dia Mama kamu!"
"Engga! Apa-apaan Bunda membawanya kemari. Keluar Bunda! Bawa dia keluar! Kak Ari usir mereka. Usir!" ucap Gua dengan memohon menangis serak-serak bergetar.
"Omor! Kamu salah paham, Mama Kamu gak terlibat dalam kasus korupsi itu. Mama Kamu dijebak manajer dan kliennya saat itu. Semua sudah tersebar dipublik, dan Kamu pasti mengetahuinya. Papa Kamu bahkan sudah mengetahuinya, dan memaafkannya." ujarnya diakhir kalimat dengan suara rendah.
"Lalu, kasus narkotika itu? Juga palsu? Semuanya aja dipalsuin! Atau bahkan Omor bukan anak mereka." ujar Gua memekik pusing, bahkan rasanya ada tangan yang menarik-narik rambut Gua.
"Apa yang kamu bilang Omorfia. Sayang, kamu anak kandung Mama sama Papa Heng, Mama yang ngelahirin kamu, Mama yang asuh kamu. Maaf Omor, Mama salah, Mama memang pemakai narkoba, tapi cuma saat itu. Mama gak tau harus lampiaskan ke siapa? Semua orang gak percaya jika Mama tak bersalah." jelas orang yang dulu sangat Gua cintai, tapi sekarang rasa sayang itu memudar hilang, semua sudah berganti rasa malu dan jengkel.
"Mama, Mama, Mama, Cukup! Drama apa yang sedang kalian bawakan? Anda pintar sekali berperan. Selamat, anda sudah lolos dari kantor polisi. Keluar!" tunjuk Gua ke pintu depan dengan jari gemetar.
"Omor! Bunda gak masalah kamu maki-maki, tapi dia Mama kamu! Dia yang tak terhingga jasanya merawat dan membesarkan kamu, ingat Omor! Sekali wanita ini bersalah, apa pantas kamu bersikap seperti itu? Sekarang Mama kamu juga sudah kembali ke jalan yang benar, Mama kamu selalu berdoa atas keselamatan keluarganya. Kenapa kamu tidak bisa memaafkan kesalahannya, wanita ini Mama kandung kamu Omor!"
"Bunda semarah itu? Bunda yang salah! Kenapa bawa dia ke sini?"
Gua terisak-isak, bahkan dada Gua kerasa tipis jaraknya dari jantung terasa berdetak begitu cepat, Gua butuh Kak Yuni tapi dia belum pulang. Sedangkan Papa semenjak Gua awal menginjakkan kaki di kota ini, tidak pernah datang mensupport Gua, semuanya terlalu gila kerja.
"Kamu tahu? Kamu, kamu harus tahu." lanjut Bunda Namira ragu-ragu dengan air mata yang banjir. Semua yang ada di ruangan ini tak ada yang ingin menurunkan ego, tak ada yang ingin mengalah.
"Kak!" teriaknya menegur Bunda Namira dengan ekspresi kaget.
"Apa? Apa dia diceraikan oleh Papa? Saya setuju." sahut Gua meremehkan.
"Kamu keterlaluan! Kamu mau tahu kenapa Papa kamu tidak pernah membersamaimu disini?" ucapan Bunda Namira kali ini, membuat Gua terhening, seketika Gua merasa khawatir, rindu, sayang, yang selalu Gua pendam akan sosok Papa.
"Kak, cukup! Jaga bicara Kakak, belum waktunya." ujarnya menunjuk mulut Bunda Namira. Aksi mereka membuat Gua heran, apalagi ini? Apa ada suatu fakta yang harus Gua pikul lagi?
"Belum waktunya gimana? Kita sudah disini, semuanya harus jelas! Dia pantas mengetahuinya, agar Dia bisa mengembalikan akal sehatnya lagi." membuat wanita di samping nya menangis memegang kepala.
Mama yang kamu benci, yang membuat kamu merasa malu, yang selalu kamu remehkan. Setelah satu tahun lalu keluar dari sel tahanan. Dia selalu ada untuk merawat Papa kamu, Papa kamu mengalami stroke. Bahkan Dia yang membawa Papa kamu berobat ke kota ini, agar Apa?
Agar dia selalu bisa memantau Kamu, menjaga Kamu dan berbagi informasi pada suaminya, Papa Kamu!"
Terang Bunda Namira dengan amarah, bahkan dia kehilangan nafas banyak sehingga menghirup udara rakus. Gua? Bahkan Gua tak tahu harus seperti apa, Gua hanya menyandar pada dada Kak Ari yang sekarang memeluk Gua.
"Semuanya mencintai Kamu Omorfia! Papa, Mama, Bunda, Kak Yuni. Papa Kamu yang meminta Kak Yuni membawa Kamu bersamanya. Karena sebelum diserang stroke, dia mengidap penyakit jantung lebih dulu." Gua mendengar suara langkah kaki dengan irama sangat cepat memasuki rumah, Gua sudah tebak siapa dia.
"Bunda! Diam!" teriak Kak Yuni, yang masih terdengar dan suara Kak Ari yang cukup membuat Gua masih ingin membuka mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terima kasih Imajinasi [end]
Teen FictionApa ini plagiat karya kalian I don't think so!! Ingat ya ini cuma karangan fiksi, jika kesamaan tempat dan alur cerita, mohon maaf saya tidak maksud meniru (15+) Hai tems, yuk pahami sekilas sebelum baca Tiap partnya sedang-sedang saja, cerita gak...