#19

103 58 3
                                    

       Mata Gua memandang remang-remang, ada satu orang yang duduk di lantai dan satunya lagi duduk di atas kursi. Menatap mereka, yang belum menyadari kesadaran orang yang mereka tunggu, bahkan sekarang sedang adu mulut.

       Setelah merasa mendapat pandangan yang jelas, Gua kembali menutup mata. Gua membiarkan dua insan itu berdebat layaknya orang buta yang tak tuli. Gua berusaha memaksimalkan pendengaran dengan fokus pada suara yang saling adu, satu orang melawak dan satu lagi sangat-sangat serius.

       "Gua salah, Gua salah, Gua yang salah." sesalnya memukul-mukul kepala yang dilapisi rambut hitam panjang terjurai.

       "Kak, Kakak emang gak benar." tuturnya membenarkan.

       "Bagaimana? Bagaimana ketika Dia bangun? Apa Dia akan menatapku? Apa Dia akan membuka suaranya? Apa Dia hanya akan diam? Apa Dia bakal down lagi? Aku bingung Ari, bingung bagaimana memulainya nanti." terdengar jelas nada penuh kesal, sesal dan bingung.

       "Kak, mumpung Adek Kita lagi nyenyak pingsan. Mending Kak Yuni persiapan dulu." usul Kak Ari seperti mencari solusi agar Kak Yuni tak khawatir.

       "Aku harus lakukan apa Ari?" tanya Kak Yuni dengan terisak-isak.

       "Lap dulu ingusnya, habis itu ke toilet mandi. Ngaca deh Kak, bentukan Kak Yuni tu udah kayak orang gila kabur dari RSJ."

       "Ari! Kenapa Kamu dari tadi menanggapi ucapan Kakak dengan lelucon. Tolong Kamu pergi! Keluar Kamu!" teriaknya mulai marah.

       "Entar beneran Gua tinggal Kak Yuni sendiri, bingung gimana ngurus tuh anak, pusing!" ejeknya lagi, yang sudah pasti membuat Kak Yuni makin jengkel.

       "Kurang ajar sekali Kamu Ari!" ucapnya disusul terdengar bunyi lemparan barang, mungkin saja kertas. Lalu Kak Yuni menangis terdengar kencang. Tak terbayang bagaimana bentuk Kak Yuni yang sebenarnya bukan anak tangguh, Kak Yuni masih anak-anak, ingat ya! Dia belum punya suami, masih anak Bunda-Ayah.

       "Kak udah dong, mending Kak Yuni marah-marah ke Gua daripada Gua harus nonton Kak Yuni begini. Gak mata, gak hidung, banjir semua." timpalnya lagi.

       "Kakak salah Ari!" sesal Kak Yuni dengan menahan tangis lagi.

       "Yaudah lah Kak, yang penting Kak Yuni udah sadar sama kesalahan sendiri. Gua yakin, Gey gak bakal nyia-nyiain perjuangan Kakak cantiknya yang selalu ada buat dia." benar sekali ucapan Kak Ari, Gua sangat mencintai Kak Yuni karena dia yang selalu membuang rasa takut Gua akan dunia di depan mata yang begitu kejam. Hidup memang seperti itu, harus, bahkan sangat harus terus Kita lewati, mau jalan di rute manapun tak mungkin tak ada rintangan.

       "Ari, makasih sudah bijak." ujarnya dengan suara mulai membaik.

       "Sekarang Kak Yuni turun dulu, ambilin Geysa air putih hangat, jangan yang mendidih juga. Kasian entar pas sadar dikasih minum bisa kejang-kejang."

       "Bodoh sekali! Orang sadar pun diminumin air mendidih bakal sekarat. Yasudah, jagain Adek Aku satu-satunya itu." Kak Yuni mulai terdengar tertawa.

       "Adek Kita!" bantahnya.

       Kak Yuni mencium jidat, pipi kanan, pipi kiri Gua. "Cepat bangun!" pesannya lalu mengusap kepala Gua. Pintu kamar sudah terdengar terbuka, pasti Kak Yuni sudah ke dapur.

       "Aduh, yang di atas meja sayang sekali, seporsi nasi rawon anget-anget lagi. Tapi Gey Lo gak bisa nyobain soalnya Lo pingsan, kan orang pingsan gak sadar diri. Kata Mama Andam sih, orang tidur makanan orang bangun." ujarnya berquote, padahal nyatanya tak ada apapun, bahkan Gua cium-cium lingkungan di kamar ini, tak ada aroma makanan pun.

       Kak Ari menutup hidung Gua dengan jempol dan jari telunjuk yang mencapit lubang hidung. "Iiihh!" pekik Gua terpaksa bangun.

       "Orang pingsan mana, yang hidungnya kembang kempis ngirup udara begitu." kepalan jarinya menoyor kepala Gua.

       "Biarin!"

       "Yaudah sana! pingsan lagi yang nyenyak, nyampe Kak Yuni keluar air mata darah gara-gara nunggu Lo sadar, gak tahu diri Lo jadi Adek!" ujarnya menyumpahi.

       "Siapa bilang, orang Gey emang baru-baru aja sadar." Gua tutup mata kembali dengan posisi lebih nyaman beralaskan tangan.

       "Eh, kok bisa Tikus sebesar Kucing!" teriak Kak Ari membuat Gua berlari ke arah pintu hingga menabrak nampan Kak Yuni yang baru saja masuk dari arah berlawanan. Prang, begitulah kira-kira bunyi nampan dan gelas yang di jatuhkan ke lantai.

       "Kak, maaf!" kaget Gua menatap beling-beling yang untungnya jatuh ke arah samping, gara-gara siku Gua dan siku Kak Yuni tabrakan, jadi tak ada beling yang menancap di kaki Kami.

       "Gey, maaf, maaf, maaf." Kak Yuni membawa kepala Gua ke dadanya, memeluk leher Gua begitu erat. Astaga apa kalian tau rasanya? Saraf di leher Gua hampir-hampir saja putus saking kuatnya dia dekap.

       "Kak, please, jangan nangis lagi yah, emang gak capek yah, nyampe suara Kakak mau habis loh." Gua balik merangkulnya, mengusap punggungnya.

       "Maaf Kakak diterima kan?"

       "Iya Kak Yuni, Gey terima, ini bukan salah Kakak sepenuhnya. Cuma sayang aja, kenapa Kakak gak kasih tau segalanya dari awal kalo Kakak tuh tahu fakta-fakta ini." perkataan Gua membuatnya menangis lagi dan Kak Ari hanya geleng-geleng kepala.

       "Bagaimana cara memulainya Gey, apa bisa Kakak mengajak lamu berbicara hal-hal berkaitan dengan Mama Shin? Saat awal-awal, baru saja ingin menyebut namanya, kamu sudah menghindar berlari, mengunci pintu kamar, mengurung diri, mogok makan, jajanan dingin aja gak lolos dari kerongkongan kamu. Bagaimana ingin menyampaikan fakta-fakta itu. Kakak bingung mau mulai darimana?

       Bahkan Kakak bingung bagaimana cara menyampaikannya seperti orang-orang yang membicarakan hal serius yang terlihat bercanda, tapi maksud dan tujuannya tetap sama, hingga kamu akan sadar dan paham. Kakak ingin melakukan hal-hal seperti itu dan sebagainya.

       Tapi setiap Kakak liat kamu akhir-akhir ini makin bahagia, Kakak malah takut ngerusak binar-binar kebahagiaan di wajah ini." Kak Yuni mengusap wajah Gua yang sudah berurai air mata. Berakhirlah kami saling peluk, membangun kekuatan bersama.

       "Kakak tahu ini gak mudah buat Kamu Gey, tapi ini takdir."

Terima kasih Imajinasi [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang