#7

113 69 1
                                    

       "Gampang! Gua tinggal minta maaf." terlalu santai sekali sahabat Gua yang satu ini.

       "Lo traktir seblak aja di kantin." Zuyi menaik turunkan alisnya dengan tangan setia memegang kipas angin mini dihadapan wajahnya.

       "Bisa masuk daftar juga ide Lo, tapi kalau dia minta lebih gimana?" timbang Arma lagi.

       "Lo kalau minta maaf yang ikhlas dong." Zuyi menjitak kepala Arma.

       "Yang tulus, ayam! bukan ikhlas, tolol!" sanggah Arma meledak-ledak.

       "Maksud Gua yang ikhlas ngeluarin duitnya." tambah Zuyi tertawa kencang.

       "Babi!" umpat Arma.

       "Udah-udah, ke kantin gak sekarang? Saran Gua, Lo mesan seblak sama teh es terus minta maaf yang benar. Entar Gua suruh dia ke kantin sama Fagrel."

       "Makin dekat aja Lo sama si Grel." celetuk Zuyi.

       "Serah Lo deh." terserah mereka ingin berpikir bagaimana.

       Gak ada berkah-berkahnya Jumat ini, Fagrel malah minta ikut ditraktir saat dengar Gaen ditraktir. Berujung uang Gua yang keluar bahkan sempatnya dia morotin Gua memesan bakso dan minuman soda.

       "Salut Gua Grel, bakso mercon level lima, minuman soda." Zuyi geleng-geleng kepala.

       "Gak apa, sekali-kali Gua ditraktir ni bocah." tunjuknya menyikut lengan Gua.

       "Pindah duduk Lo sana, perut Gua ngilu tiap lihat Lo nyuap." Gua menggeser badannya yang tegap itu tapi gak bisa.

       "Gak usah lihat." pendeknya.

       "Mata Gua berfungsi dengan jelas, yaudah Gua yang pindah." akhirnya Gua yang pindah ke sebelah kanan Zuyi.

       Kami ingin kembali ke kelas, segera Gua mengambil tempat ke sebelah Fagrel. "Awas aja Lo besok!" bisik Gua geram mengepal tangan.

       "Simpel, besok gak Gua jemput." Enteng amat mulutnya, Gua injak juga tu kaki.

       "Aww, ngeri juga Lo." dia menaikkan kakinya sebelah mengelus-elus sepatunya, sepatu dielus edan emang.

       "Awas aja besok Lo gak jemput."

       "Gak mungkinlah Gua gak jemput, Gua gak munafik sama perkataan Gua." sombong amat gila.

       "Apa? Segitunya natap muka Gua." benar juga, ngapain Gua dari tadi liat muka dia.

       "Gak tau." heran Gua dan membuatnya tertawa.

       "Lo pikun ya?" tanyanya setelah meredam tawanya.

       "Lo yang tua!" balik Gua mengatai.

       "Pikun bukan cuma yang tua. Tuh kan, Lo bener-bener pikun ya, udah Gua kode juga. Alamat Lo belum Lo kirim nyampe sekarang, pikun!" ucapnya menekan kata pikun.

       "Oh iya-ya, oke entar malam Gua kirim." Gua ingat-ingat iya juga, lupa. Tapi dia juga gak ada ngingatin Gua kemaren-kemaren.

       Bentar, berani benar dia ngatain Gua pikun. "Apa tadi, Lo bilang Apa?" tatap Gua menanyai melototkan mata berkacak pinggang, segera dia berlari meninggalkan Gua, bodoamatlah mau lari kemana terserah dia.

       "Lo apain?" tanya Gaen melihat temannya berlari-lari gak jelas.

       "Gak tau, teman Lo aneh." Gua mengedikkan bahu gak peduli.

       Matahari sudah terbenam, sudah selesai shalat juga. Dihadapan Gua ada Kak Yuni dan Kak Ari dari tadi sibuk mengotak-atik handphone mencari-cari ide, Gua dengar mereka mau bikin kue. "Kasian Gua nengok ni alat bahan." Gua mendekati mereka melihat-lihat isi kantong plastik.

       "Tumben Lo wangi." Kak Ari mencium-cium aroma Gua kayak anjing nyari bau daging goreng.

       "Tentu, habis mandi." kuat-kuat Gua tarik hidung Kak Ari, nyampe merah gitu.

       "Besok-besok gak boleh ya Gey! Kalau udah jam delapan malam sekalian aja kamu gak mandi."

       "Iya besok gak ulang lagi, swear." Gua anggukin aja dulu, gak tau deh kedepannya kayak mana.

       "Pulang sekolah mandi dulu, baru Lo nugas." kompor Kak Ari.

       "Nugas juga jangan nyampe Malam, kalau udah lewat jam sepuluh malam berhenti dulu, sebelum Shubuh bangun." celoteh Kak Yuni nambah panjang kan jadinya, kalau udah ada teman yang bela-belain dia gini nih jadinya.

Terima kasih Imajinasi [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang