Follow me :)
*****
"KENAPA kamu mau keluar? Kamu lupa sama perjuangan kamu buat dapetin beasiswa itu?" Bu Tuti menatap Adel kecewa. Anak itu tiba-tiba datang ke ruangannya, mengatakan ingin keluar dari sekolah. Tentu Bu Tuti kecewa.
Adel yang sedang menundukkan kepala dengan tangan saling meremas diatas paha hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaan Bu Tuti. Sudah Adel duga Bu Tuti tidak akan semudah itu melepas Adel yang sudah mengharumkan nama sekolah.
Adel ingin sekali mengatakan kebenarannya, tapi sama saja ia membongkar rahasianya bersama Putra.
"Adel, muka saya ada disini bukan disitu!" tegas Bu Tuti.
Adel mendongak dengan perlahan, menatap Bu Tuti hampir menangis. Dia ingin sekali jujur agar dia dibiarkan keluar dari sini.
Bu Tuti menghela napas, melihat wajah Adel membuatnya merasa bersalah. Tapi sungguh Bu Tuti sangat menyayangi Adel. Dia sudah tidak memiliki keluarga lagi. Setidaknya dengan beasiswanya hingga nanti dia kuliah di luar negeri bisa menjamin masa depannya.
Wajah Bu Tuti melembut. "Del, apapun masalah kamu, sebesar apapun itu jangan pernah mengambil keputusan yang bersangkutan dengan masa depan kamu karna masa depan kamu itu sudah terjamin sampai kamu kuliah nanti. Bahkan pihak sekolah juga akan membantu kamu untuk mencari pekerjaan."
Bibir Adel bergetar. "Adel mau keluar dari sini, Bu. Adel ngga mau disini lagi. Mereka semua jahat sama Adel." lirih Adel.
"Dengerin, Ibu. Kalau kamu keluar dari sini berarti mereka menang. Kamu tau 'kan mereka itu cuma iri sama kamu. Mereka iri sama kepintaran kamu. Kalau kamu keluar berarti kamu kalah." jelas Bu Tuti, ia menghela napas lalu melanjutkan. "Lagian keluar dari sini kamu mau kemana? Mau coba di sekolah lain? Ga gampang, Del. Bahkan makin banyak cemoohan ke kamu karna memilih keluar dari sekolah yang dibanggakan semua orang."
Nyatanya sebesar apapun usaha Adel untuk tetap keluar, tidak akan bisa semudah itu. Dengan wajah sedih bercampur kecewa, Adel keluar dari ruang guru dan berjalan lesu menuju kelasnya dengan kepala tertunduk.
"Jangan nunduk terus, nanti mahkotanya jatuh."
"Eh," Adel mengerjap kaget, matanya melihat Putra yang sudah berdiri disisi kanannya dengan kedua tangan berada disaku celana trainingnya.
Putra menatap Adel yang hanya sebatas bahunya sedikit ke bawah. "Kenapa muka lo? Jelek banget." tanya Putra datar.
Adel mengusap mukanya sambil menggeleng. "Gapapa, kak." jawab Adel pelan. Menyadari lengannya bersentuhan dengan lengan Putra, Adel mengambil jarak satu langkah. Berdekatan dengan pria itu membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Putra yang menyadari itu terkekeh sumbang. "Gue ngga sehina itu sampai lo harus jaga jarak." cetus Putra dingin.
Adel tidak menjawab. Pandangan cewek itu lurus, tanpa menghiraukan tatapan orang-orang yang menatap kearah mereka berdua dengan tatapan bingung.
Putra menjilat bibir bawahnya. Suasana berubah canggung, Putra yang memang dasarnya dingin tidak tau bagaimana caranya untuk mendekatkan diri dengan seseorang.
"Lo mau kemana?" tanya Putra pada akhirnya.
"Kantin, kak." Adel membalas pelan. Banyak menangis membuatnya mendadak lapar.
Putra mengangguk, dia mengeluarkan tangan kirinya lalu menarik tangan kanan Adel. "Ya udah, ikut gue."
Adel melotot kecil. Dia sudah ingin menolak namun pria itu sudah berlari menarik dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADELNIA
Teen FictionCerita ini bersifat konflik ringan, hanya fokus pada kehidupan rumah tangga mereka. Lain dari itu, hanya sebagai bumbu cerita saja "Kak, bisa jemput aku? Aku lagi di taman, bentar lagi hujan." "Siapa lu nyuruh-nyuruh gue?! Punya hak apa lo?!" "Ka-ka...