Follow me :)
*******
“MENURUT ku yah, bang, beberapa kursi dan meja di tambahin aja. Soalnya makin kesini makin rame pembeli. Sebagian ngga dapat tempat. Yah mereka kecewa, terpaksa mereka bungkus dan bawa ke rumah.”
Putra tampak serius memperhatikan salah satu pegawainya yang dia jadikan sebagai kepercayaan. Memang cafenya sedang naik daun, bukan hanya karena makanan yang enak dan ramah di kantong. Interior cafe yang menarik membuatnya mengundang orang-orang untuk masuk ke dalam. Kurang dari satu minggu, Putra berhasil membuka cafe. Singkat, tapi mungkin sudah rezeki dari Tuhan untuk pernikahan mereka.
Kepala Putra manggut-manggut sambil menatap lembaran kertas yang harus dia beli mengingat masih banyak yang kurang.
“Gimana sama online, lancar?” tanya Putra masih menatap kertas di tangannya.
“Lancar, bang. Malah makin membludak.” Putra tersenyum mendengarnya.
Mereka diam sesaat, laki-laki bernama Jefan yang duduk di depan Putra membiarkan bosnya memeriksa kertas dan menambahkan yang sekiranya ada yang kurang.
Putra menyerahkan kertas putih itu. “Semua udah gue tulis disitu. Tinggal lo beli aja. Terus foto-fotonya kirim ke grup wa biar gue pilih. Sekalian kita minta pendapat karyawan yang lain.”
Jefan menerima kertas itu dengan gerakan sopan. “Iye, bang.”
Meraih dompet dari kantong celananya, Putra menarik kartu dari sana dan menyodorkannya pada Jefan. “Ini. Jangan lihat harga. Tapi kualitasnya.”
Menerimanya, Jefan mengangguk pelan. “Iye, bang.”
“Yaudah sana. Tolong panggilin bini gue kemari.” Putra menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang dia duduki. Jefan berdiri lalu membungkuk singkat dan pergi.
Kedua mata Putra tertutup saat telinganya mendengar suara pintu diketuk pelan. Putra membuka matanya dan menatap pintu. “Masuk.”
Pintu terbuka, Adel melongokkan kepalanya ke dalam. Menatap sekitar sebentar sebelum menjatuhkan tatapannya pada sang suami yang sedang menatapnya.
“Sini.” panggil Putra datar.
Adel masuk dan menutup pintu. Dengan rambut yang di jedai setengah, perempuan muda itu menghampiri suaminya. Dan begitu Adel sudah berada disisi meja, Putra langsung menarik Adel untuk duduk di pangkuannya.
Adel sontak terkejut, apalagi Putra mengubah posisi duduknya mengangkang menghadap cowok dingin itu. Terlihat Adel menahan napasnya. Posisi mereka begitu intim membuat Adel sedikit tidak nyaman.
Putra melingkarkan kedua tangannya memeluk pinggang ramping istrinya. Netra hitamnya yang tajam menatap lekat-lekat wajah manis wanitanya. “Tadi ngapain aja pas aku lagi gada?”
Dengan kedua tangan berada di bahu kekar Putra, Adel menjawab gugup. “Gada, kak. Cuma ngomong basa-basi sama karyawan kakak.” Adel menundukkan kepalanya, tak berani membalas tatapan tajam itu.
“Karyawan aku itu karyawan kamu juga.” koreksi Putra. “Gimana sama cafenya, cocok sama kamu?”
“Cocok, kak. Tempatnya strategis. Jadi bisa narik pembeli.” Adel menatap suaminya. “Udah gitu, cafenya juga menarik. Kakak pintar menghias ruko yang sederhana jadi cafe yang aesthetic.”
"Aku senang kalau kamu suka." Putra tersenyum samar. Tangannya meremas pinggang wanitanya. "Kalau semisalnya ada yang ngga cocok kamu rasa di cafe ini. Bisa kamu ubah. Gausah minta pendapat aku. Karna apa yang kamu suka, aku bakalan suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
ADELNIA
Teen FictionCerita ini bersifat konflik ringan, hanya fokus pada kehidupan rumah tangga mereka. Lain dari itu, hanya sebagai bumbu cerita saja "Kak, bisa jemput aku? Aku lagi di taman, bentar lagi hujan." "Siapa lu nyuruh-nyuruh gue?! Punya hak apa lo?!" "Ka-ka...