Bab 1

2.8K 152 11
                                    

Selamat Membaca..

















P

agi hari..

Terlihat sebuah motor sport memasuki pekarangan rumah mewah di pinggiran kota. Suara mesin yang biasanya meraung kini hanya terdengar lirih, seolah sang pengendara tahu betul bagaimana cara meminimalisir kebisingan. Seorang gadis dengan jaket kulit hitam turun dari motor, melepas helm, memperlihatkan rambut sebahunya yang sedikit acak-acakan. Dia membuka pintu rumah pelan-pelan, memastikan tak ada satu suara pun yang bisa membangunkan penghuni rumah lainnya.

Namun, baru saja ia menapakkan kaki di tangga menuju kamarnya di lantai dua…

"Chika!" suara berat nan familiar itu memanggil.

Gadis itu—Chika, anak kedua keluarga Gracio—membeku di tempat. "Mati gue…" batinnya, sambil perlahan membalikkan badan.

"Baru balik lo? Nah, bener kan baru balik!" Suara itu kini lebih keras, penuh dengan nada interogasi.

"Sssttt!" Chika cepat-cepat membekap mulut sosok yang memanggilnya—Zean, kakak sulungnya.

"Hhmphh!... Lewpwhasin twangwan low emmmp!!!" gerutu Zean tak jelas di balik telapak tangan Chika, berusaha melepaskan diri.

Akhirnya Chika menyerah, melepas tangannya dengan kesal.

"Hosh… Hosh… Tangan lo, huft… Bau terasi anjir." Zean memiringkan kepalanya, berusaha menghirup udara segar.

"Enak aja! Nggak tuh! Nih, wangi-wangi aja tuh." Chika mengendus-endus tangannya sendiri dengan ekspresi tidak terima.

Zean menatap adiknya intens, matanya menyipit. "Dari mana lo baru balik sesubuh ini?"

Chika menelan ludah, berusaha memasang muka polos. "Gua… Gua nginep di rumah Olla. Iya, rumah Olla."

Zean mengangkat alisnya, jelas tak percaya. "Jujur atau gua aduin nyokap?"

Chika menghela napas, tahu dia tak bisa mengelak lebih lama. "Iya, iya… Habis balap semalem."

Mendengar itu, Zean memejamkan mata sejenak, berusaha menahan amarah. "Mau sampai kapan sih, Chik, lo kayak gini? Lo tuh cewek, Chikaa!" suaranya melembut, penuh keprihatinan.

Chika terdiam, menundukkan kepala.

Zean melanjutkan, suaranya lebih tegas. "Sekali-kali kek dengerin omongan gue. Kasihan Mama, Dek… Mama punya anak cewek yang harusnya nemenin dia masak, bersih-bersih rumah, belanja, nge-mall. Tapi apa? Mama nggak pernah dapat itu dari lo. Lo malah sibuk sama geng motor nggak jelas itu."

Chika mendongak, matanya tajam. "Mama nggak pernah nyuruh gue buat ngelakuin semua hal yang anak cewek lakuin. Kenapa jadi lo yang sewot? Soal motoran itu hobi gue. Lo nggak ada hak buat ngelarang."

"Nggak ada hak? Heh! Curut, gue ini abang lo, ya. Sebagai abang, gue nggak mau lo salah pergaulan dan malah bikin onar. Geng motor itu bukan hobi, tapi ambisi lo yang pengen dihormatin!" Zean menggelengkan kepala, lalu berbalik, menaiki tangga tanpa menunggu jawaban.

"Jangan bilang Mama ya, Bang!" teriak Chika pelan, tapi Zean tak menggubris. Suara pintu kamar Zean tertutup menjadi jawaban yang cukup jelas.

Chika menghela napas panjang. "Huft… Semoga dia nggak cepu deh." Dia melirik jam tangan yang menunjukkan pukul 05.50 pagi. "Gua harus siap-siap sekolah nih, biar Mama nggak curiga."

YANG INDAH? | ch2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang