"Juni, mama kamu dengar katanya kedai kamu lagi punya masalah, ya?"
Juni menghela napas kasar. "Mama punya mata-mata dari mana? Kok bisa masalah Juni sampai ke Bandung?"
Tora terkekeh mendengar respon putrinya di seberang sana. "Bapak juga gak tau."
"Bilang sama mama, ini karma karena Juni merantau terus jadi anak durhaka karena gak dengerin Mama."
"Hush, omongannya dijaga."
"Mama, kan, senang divalidasi ... bilang aja gitu biar dia merasa paling benar."
"Juniper .... Bapak gak pernah didik kamu jadi anak yang asal bicara."
Juni tak merespon. Matanya masih fokus menyusun uang recehan jadi 10 ribuan untuk dipakai bayar sewa kedainya.
"Bapak perlu kirim uang, Nak?"
Tak ada jawaban.
Lima detik berlalu.
"Gak perlu, Pak."
"Jangan kesulitan sendirian, Nak."
"Juni yang mutusin sendiri buat pergi dari rumah, artinya semuanya harus Juni urus sendiri juga, Pak."
Helaan napas terdengar di telepon, Juni semakin erat mencengkram ponsel bututnya yang sudah retak layar.
"Gak ada orang tua yang biarkan anaknya kesulitan sendirian, Nak. Mau seperti apa pun rumitnya kamu dan Mama ... kalian berdua sama-sama membutuhkan."
"Pak ... Juni mau tidur."
"Ingat ucapan Bapak, Nak. Mamamu memang rumit, kita gak bisa ubah dia ... kita cuman bisa mengerti dan menyayangi."
"Terus kapan Juni yang dimengerti, Pak? Kapan Juni dibiarkan bicara barang satu menit aja tanpa dipotong sama Mama, kapan Juni dibiarkan ambil keputusan sendiri ... karena sumpah, Pak, Juni udah bertahan dua puluh tiga tahun sama Mama dan satu kali pun belum pernah Juni dengar dia bangga—"
Tangannya bergetar, bibirnya kelu untuk bicara karena tenggorokannya tercekik. Juni menahan kuat-kuat air matanya.
"Juni gak pernah muluk-muluk minta hape bagus, baju natal baru atau sekolah di tempat mahal ... kalau Juni mau dari dulu Juni yang biayain hidup Juni sendiri—" Juni menjeda kalimatnya, menenangkan dirinya yang sudah kelupaan tadi sampai hitungan keberapa ia menghitung jumlah uang recehannya. "Pak ... yang Juni mau cuman Mama bangga sama hal yang Juni lakukan. Hal sederhana kayak gitu aja gak pernah Juni dapat."
Tora tak punya kalimat lagi untuk dikatakan. Kalimat putus asa dari putrinya membuatnya merasa gagal menjadi kepala keluarga yang mempertahankan keutuhan keluarganya.
" .... Juni tidur, ya."
"Selamat malam ya, Na—"
Juni mengakhiri panggilan sebelah pihak. Kemudian berjalan menuju pigura berdebu berisi fotonya dan 3 orang lagi.
Bapak, Vian dan—
"It feels hard to be your daughter, Ma," lirih Juni.
—Mama.
Juni memejamkan mata, mencoba mengingat, 'hal apa ya yang menyenangkan dilalui dengan Mama.'
Yang kemudian dadanya sesak ketika menyadari tak ada hal yang cukup baik untuk dikenang selain senyuman wanita itu ketika Juni wisuda, sukses menjadi sarjana pertama di keluarganya.
Yang kemudian dada Juni semakin sesak ketika menyadari bahwa ia tak mendengar kata 'bangga' di momen itu.
"Cari kerja, gak perlu yang besar gajinya karena lulusan kayak kamu gak akan terpandang ... yang penting punya kerja, mau jadi OB, mau jadi tukang ... kerjakan. Kita bukan orang beruntung yang bisa memimpin suatu bisnis."
Kemudian kalimat itu berputar-putar bak kaset rusak, bak ingatan yang dikubur dalam-dalam oleh Juni waktu ia berharap bisa mencapai hal-hal besar dan ibunya hanya meminta Juni menjadi biasa-biasa saja.
"Hidup gak perlu banyak berharap, Jun. Hidup saja ... susah, ya susah saja. Asal tetap hidup."
Kemudian air mata itu menetes di pipi Juni. Gadis itu mulai bertanya-tanya apa hidup akan selalu sesulit ini untuk gadis sepertinya?
Langkahnya mengayun ke ruang tamu, duduk di sana mencoba mengontrol rasa sakit di dadanya, rasa sakit yang menahan tenggorokannya untuk sekedar berteriak.
"Kenapa disayang Mama itu bayarannya mahal sekali?"
"Karena anak perempuan gak boleh dimanjakan. Nanti dia terlalu lembek menghadapi dunia."
Pundak Juni bergetar, air matanya mengalir berkali-kali di pipinya. Tangannya terangkat, mengelus kepalanya sendiri seperti hal yang biasa ia lakukan.
"Kamu hebat, Jun. Aku ... aku bangga sama kamu, Jun," kata Juni sambil mengelus kepalanya sendiri.
"Kam-kamu hebat."
Tubuhnya terduduk di lantai kemudian tak sengaja menendang sebuah kotak di bawah meja. Sambil mengelap air matanya, Juni meraih kotak berwarna coklat itu, membukanya.
Baju yang ia inginkan waktu itu, baju yang tak sempat ia beli karena Ha keburu membawanya lari.
Baju itu ada dalam genggaman tangannya.
***
Ha membuka pintu perlahan, di luar perkiraannya, pukul 1 pagi Juni masih belum mengunci pintu.
Begitu membuka pintu, pandangan Ha terarah pada Juni yang tertidur di atas sofa tanpa selimut. Dada Ha berdegup kencang begitu melihat wajah Juni sembap. Ia berjalan mendekat, melepas jaketnya untuk diberikan pada Juni. Kembali tangannya menjadi kaku ketika melihat air mata menetes di mata terpejam itu.
What happened?
Ha menyentuh dadanya karena merasakan sesuatu yang asing di sana. Dadanya terasa sesak melihat ini semua. Di kepalanya berputar-putar pertanyaan apa yang terjadi?
Perlahan tangannya mengangkat tubuh Juni, membawanya ke kamar.
"Ha?"
Juni terbangun.
"Tidur di kamar, ya," tutur Ha sambil meletakkan tubuh Juni di tempat tidur empuknya.
Mata Juni sayu, hidungnya merah dan tersumbat. "Kamu mau aku buat teh? Air hangat?"
Juni menggeleng.
"Ha ..." panggilnya.
"Hmm?"
"Temenin aku di sini. Tidur sama aku di sini."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate
Teen Fiction"Bagi sebagian orang, mereka hanya perlu mendaki dua atau tiga kali untuk sampai ke puncak. Namun, untuk sebagiannya lagi-mereka perlu mendaki berkali-kali sampai patah kaki, sebelum akhirnya bertemu dengan puncak itu." - Juniper *** Ini tentang Jun...