All I Ever Wanted to Hear Was Sorry

2 1 0
                                    

Keep Your Head Up Princess - Anson Seabra

When she was younger, she would pretend
That her bedroom was a castle, she was fairest in the land

And she got older, and it all changed
There was no time for make-believe and all the magic slipped away

And she got older, and it all changedThere was no time for make-believe and all the magic slipped away

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ha terlelap di matras kecil yang sudah 2 bulan ini menjadi teman tidurnya. Bermodalkan obat anti nyamuk seribu rupiah yang Juni beli, lelaki itu selalu bisa tidur lelap seperti di apartemen 5×8 meternya.

Juni membuka pintu setelah merapikan kondisi wajah bantalnya. Matanya seketika tertuju pada lelaki itu.

Biasanya, Hael Ivalo akan bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan sehatnya. Sesuai kesepakatan mereka, Ha tak perlu membayar biaya hidup, asal Juni perutnya kenyang setiap saat. Hari ini beda, lelaki itu sepertinya kelelahan sampai belum terbangun setelah semalaman marathon baca novel yang mereka beli dari toko buku.

Juni menyunggingkan senyumannya, sempat terkekeh melihat wajah teduh itu. Ini hari ke-68 bersama Ha. Ini juga kali ke-68 Juni diam-diam menatap Ha dalam tidurnya. Ada ketenangan tersendiri. Sampai ia sadar bahwa perasaannya dari hari ke hari bertumbuh, kini Juni takut kehilangan.

Rasa-rasanya, tak apa Ha menganggapnya keluarga—kalau memang itu yang membuat mereka tetap terkoneksi.

***

"Pokoknya Mama harus minta maaf sama Kakak." Vian menggandeng tangan ibunya. "Kita nggak boleh pulang ke Bandung dalam keadaan berkonflik."

Amerta mencebik kesal. "Kenapa Mama aja yang minta maaf?"

"Kamu dan kalimatmu yang buat anakmu sakit hati." Tora bersuara.

Dalam perjalanan ke Ruang Rasa, ketiganya sudah membawa tas sekalian pamit pulang. Niat hati mengunjungi Juni adalah sebagai bentuk ucapan rindu sekalian menengok keadaan putri mereka. Sayangnya, niat itu dijungkirbalikkan. Ketiganya malah harus meminta maaf karena membuat masalah tempo hari.

"Niat Mama padahal baik datang ke kedainya itu, Mama mau kontrol usaha yang dititip Oma Lena berjalan lancar atau engga. Ehh, malah Mama yang kena semprot!" Amerta menaruh tangannya di kepala. "Pusing Mama hadapin Kakak kamu."

"Kakak nggak perlu Mama bantu urus kedai. Kakak lebih paham dari kita."

"Heh! Kalau Kakakmu gagal buka usaha, siapa yang bayar uang kuliahmu, hah? Maksud Mama waktu itu, Mama khawatir kedainya nggak laku karena jual kopi sepahit itu! Mama nggak tau kalau kopi hitam bisa sepahit itu!" desis Amerta dengan bahasa tangan yang menggambarkan kesalnya.

Vian diam. Ibunya benar, siapa yang bisa membayar biaya kuliahnya kalau Juni gagal?

"Penghasilan bapakmu nggak sebesar itu. Paham? Ibu juga nggak punya kerjaan tetap. Mau bagaimanapun juga kita bergantung sama Juni. Sebodoh apa pun orang kampung kayak kita, harus bisa bantu Kakakmu."

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang