Kitchen Floor When We Are Together

5 2 0
                                    

Music: Falling in Love - Cigarettes After Sex

Music: Falling in Love - Cigarettes After Sex

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 "Berdiri, Jun."

Kemudian saat Juni mendengar suara itu, ia tau dirinya tak menangis sendirian lagi.

"Berdiri. I'll take care of these." Ha meraih tangan Juni sambil mengulurkan sapu tangan berwarna putih.

Wajah sembap itu mendongak, menatap pemilik bola mata coklat yang tiap pagi menyambutnya dengan sarapan hangat, kadangkala terlambat bangun dan rela menempuh perjalanan untuk menyiapkan seporsi ketoprak untuknya. Juni tak pernah berekspektasi banyak akan memiliki kawan dalam hari kesepiannya, tetapi Hael Ivalo datang—menjadi sosok yang selama ini jadi seseorang yang selalu ada.

Ha mulai sibuk merapikan serpihan kaca yang berserakan di sekitar Juni. Kemudian isak tangis terdengar lagi, ia mendongak melihat Juni menangis sambil menatapnya. Tatapan yang berbeda, belum pernah Ha lihat sebelumnya. Itu tatapan yang membutuhkan dirinya.

Kemudian Juni terduduk kembali di lantai, bersandar di kaki meja sambil menyeka air matanya. Dengan di kepalanya berputar-putar ingatan tak menyenangkan tadi.

Ha tak melihat langsung, tetapi lelaki itu mendengar semuanya. Ha tau seberapa sakit dan kasar kalimat yang ditimpakan pada Juni tadi.

"Ma .... Tiap kali Mama bilang aku orang yang gagal, aku gak pernah benci sama Mama—"

"Tapi aku jadi benci diriku sendiri."

Mendengar kalimat itu lolos dari bibir Juni, membuat Ha benci kenyataan kalau ia tak bisa melakukan banyak, selain ini. Padahal sebenarnya Ha benar-benar mampu membawa tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya. Namun, Ha terbatas. Ha tak bisa melakukan itu.

Juni masih menunduk

"Aku harus apa, ya, Ha?"

"Harus apa untuk apa?"

"Untuk buat Mama berhenti bilang seperti itu?"

"You don't have to do anything. Seriously."

Juni menghela napas, mencari udara karena dadanya sesak. "But everytime I hear my Mom speak, the way she talks—makes me hate myself even harder."

Ha merapikan rambut Juni yang berantakan. "Satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan ... cuman sayang sama diri kamu."

"Aku udah terlalu benci diriku."

"You never hate yourself, you feel guilty, Jun. Kamu merasa bersalah sama diri kamu sampai kamu menyangkal kenyataan kalau kamu udah terlalu memaksakan semuanya selama ini padahal nantinya semua bakal baik-baik aja asal kamu terima diri kamu apa adanya, Jun."

Juni menggeleng. "Aku benci diriku sendiri, Ha. Kayak setiap hari aku bangun ... aku paksa diri aku buat terus bekerja, mengenyampingkan kebutuhan aku buat istirahat karena aku mau buktikan sama orang-orang kalau aku bisa. Sampai respon mereka cukup untuk menampar aku kalau kenyataannya aku gak bisa, and I hate myself because of that fact."

"Jun ... memang perlu untuk prove something kepada orang tua kita. Tapi mereka juga manusia, yang kadang gak bisa memahami kalau anak mereka punya kapasitasnya. Jadi, kalau selama ini kamu yakin kamu udah mengusahakan apa yang kamu perlu usahakan, kamu hanya perlu fokus sama orang yang menghargai kamu. But I do know, Jun ... di hari depan nanti, she would say that she is immensely proud of you."

Ekspresi wajah gadis itu berubah. Bagaimana bisa sosok di depannya merubah rupa jadi harapan baru.

"Terima diri kamu apa adanya ya, Jun." Ha tersenyum, suaranya berucap dengan tenang seperti alunan melodi paling indah di bumi.

"Karena di dunia ini, selain membahagiakan Mama-Papa, juga soal membahagiakan diri sendiri. Kamu itu prioritas kamu."

Juni tersenyum. Ha merasakan dadanya berdesir. Ia mengangkat tangannya seraya menepuk-nepuk pelan puncak kepala Juni.

"Juni, shit happens, but so does the sun—it still comes up everyday. Life goes on, and everytime I'll be always here for you, as your ... narcissistic roommates."

Dan semudah itu Ha kembali membuatnya tertawa.

"Dan sebagai koki?" tanya Juni.

Ha mengangguk. "Yap, siap melayani dua puluh empat jam. Mau makan apa malam ini?"

"Nasi goreng!"

"Serius? Di saat sang culinary maestro ini bisa buat yang lain? Kamu cuman minta nasi goreng?"

"Aku rindu nasi goreng buatan Mamaku, hehehehe ...."

Ha terdiam sejenak kemudian mengangguk. "Iya, Jun. Kita makan nasi goreng, ya."

Juni tersenyum ceria seraya menyeka air matanya, merapikan kondisinya. Ha mengulurkan tangannya, Juni meraih dan bangkit berdiri. Untuk sesaat keduanya masih saling bertatapan dengan tangan yang masih terpaut.

"Nasi gorengnya mau yang seperti apa?"

"Yang rasa bawangnya kuat banget. Yang pedasnya dikit karena Mamaku selalu ngomel. Yang telurnya buanyaakk!!!"

"As you wish, Jun."

"Tapi aku mau ikut bantu!"

"Iya, Jun."

***

Ha kini mengerti, serumit apa pun hubungan Juni dan keluarganya, Juni akan tetap menjadi gadis kecil yang merindukan ibunya. Yang butuh pelukan dan butuh pundak untuk bersandar. Ha sadar bahwa selama ini Juni melalui banyak hal sendiri, tanpa ia benar-benar tau.

Bola mata coklatnya masih fokus menatap punggung yang bergerak-gerak memotong cabai dengan piawai.

"AW! PERIHHHH!"

Sampai tiba-tiba Juni mengusap matanya. Ha buru berlari mendekat.

"PERIH, HA!"

"Kam-kamu ngapain ngucek mata when you are copping these! Astaga!" Ha mencengkram pundak Juni kemudian menuntunnya ke wastafel di sebelah kompor.

"Aw, aduh perih banget! Gak kuat!!!"

"Sini, sini ...."

Juni menunduk, Ha menyalakan keran dan membantu Juni mencuci matanya. Perlahan tangannya dengan lembut mengusap mata Juni.

Ha merasa cemas, tetapi juga tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memperhatikan wajah Juni dari jarak sedekat ini. Juni menunduk, membiarkan air mengalir melewati matanya.

"Thanks, Ha," ucapnya pelan, masih merasakan perih yang berangsur-angsur mereda.

"Kamu harus lebih hati-hati lain kali."

"Aku ...." Juni terlihat ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Aku senang kamu di sini."

Ha merasakan pipinya memanas. "Aku juga senang ada di sini, Juni," balas Ha dengan suara yang nyaris berbisik.

Detik-detik berlalu seakan melambat, dan di tengah keheningan itu, mereka saling menatap, seolah mengerti bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Ha merasakan keinginan itu semakin membesar. Keinginan untuk menjadi lebih dari siapa mereka sekarang.

Namun, apa pantas?

***

Have a great day semuanya!

Ditulis 10.40 PM 

Jangan lupa vote, comment dan follow ya:)

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang