Masih flash back Aya, tapi ngga flashback semua, baca aja dlu.
❄️❄️❄️
Sesuai yang Arnan inginkan, Aya dirawat di rumah karena memang dari fisiknya adiknya itu telah dinyatakan membaik. Ya, meski dengan berbagai obat-obatan yang harus dikonsumsi. Sudah dua hari, Aya hanya berdiam diri di kamar, ia seperti orang biasa. Mau membersihkan diri, mengganti baju, makan, juga meminum obat. Tapi tak mau berbicara sedikit pun.
Sebenarnya, Arnan hanya menghinari jika Aya sampai harus dibawa ke rumah sakit jiwa. Hatinya tak tega jika Aya sampai harus dibawa ke tempat itu, walau tak ada yang salah jika dibawa ke sana, tetap saja Arnan hanya menyangkal jika adiknya gila. Baginya, Aya hanya sedang beristirahat dari lelahnya kehidupan, dengan keadaan adiknya yang seperti itu Arnan yakin Aya pasti tak terlalu merasakan beratnya kehidupan yang ia alami.
"Pak, jika obat habis. Tetapi, keadaan Aya masih sama. Mau tak mau Aya harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Tenang saja, di sana ia pasti dirawat dengan baik hingga ia pulih."
Itu, kalimat yang diucapkan dokter tadi sebelum dokter itu pergi. Saat ini sekitar jam delapan malam, Arnan tengah duduk di teras rumah sederhananya memandangi langit mendung di atas sana. Ini rumah sederhana yang Arnan beli dengan uangnya sendiri selama bekerja.
"Aya udah tidur karena abis minum obat, tapi kapan kesadaran Aya balik? Kapan Aya pulih? Kakak gak mau kamu dibawa ke RSJ," lirihnya dengan bola mata memanas menahan tangisan.
Terhanyut dalam kesedihan beberapa saat. Kemudian Arnan terganggu dengan rasa amat perih yang menusuk-nusuk di perutnya, lambung kronis. Selain itu ia juga mengalami gangguan hati, Arnan juga punya lambung kronis ini beberapa tahun terakhir.
"Iya. Belum makan," ucapnya, sadar ia belum makan, atau minum obat mag, tubuhnya beranjak dari teras. Menaiki motor sportnya yang terparkir di sana lalu mengenakan helmnya sebelum melajukan kendaraannya. Ia harus mencari makanan untuk mengisi perutnya.
Di perjalanan, sesekali ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari tempat yang cocok untuk ia makan. Dan akhirnya memilih berhenti di sebuah kios Fried Chicken tempat biasa ia membeli Kentucky.
Arnan memesan makanan, ia juga memilih makan di tempat agar tak terlalu lama membiarkan perih di perutnya. Sesekali Arnan memandangi sebuah paha Ayam yang di balut tepung krispi itu, bibirnya mengukir senyuman tipis.
"Dulu kita sering rebutan paha ayam kan?" gumam Arnan, ia teringat dahulu saat ia dan Aya masih kecil. Aya itu cengeng, dan Arnan suka mengganggu Aya.
Usai makan, Arnan tak lupa membungkus Kentucky itu juga, tentu untuk Aya di rumah. Tetapi niatnya untuk pulang digagalkan dengan hujan yang tiba-tiba turun amat deras.
"Hujan, nunggu reda duduk di situ gak papa kok," ucap ibu penjual Kentucky itu sembari menata senyuman hangat di wajah ramahnya.
"Iya Bu, numpang neduh dulu ya," ucap Arnan sungkan.
"Iyaa, mau minum kopi atau teh ngga? Ibu bikinin," tawar wanita itu.
"Gak usah Bu, Ibu lanjut aja," balas Arnan sopan.
Wanita itu kembali menata senyum, "Ya udah kalo gitu," ucapnya ramah sambil lanjut membersihkan meja-meja yang kotor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Will We Be Happy? || END
General Fiction[Friendship, romance, komedi but based angst story] "Light Circle password nya apa??" "Gak ada yang beres!!" seru mereka bersepuluh dengan kompak. ❄️✨:Sesuai judul 'Will We Be Happy?" Artinya, 'Akankah kita bahagia?' Ya, ini bukan hanya persoalan si...