55. Kembar❄️✨

64 27 0
                                    

Roarr dulu ges🗿💐
Janlup komen, senyum dulu tapi😾🫵
Happy reading ges 😋

❄️

"Papa! Jadi Papa mau bawa Unda? Kemana, Pah? Kemana? Bagas ikut juga," ucap Bagas yang sedari tadi mengikuti langkah Deni yang sibuk mengemas barang-barang.

"Iya," ucapan dingin itu terucap dari mulut Deni, membalik badan jadi saling berhadapan dengan Bagas, "Kamu itu ga sadar diri juga? Udah buat Ragas meninggal, buat adik kembarmu yang seharusnya lahir jadi harus dikorbankan lalu buat istri saya sakit sampai sekarang. Lantas kamu mau ikut untuk pengobatannya? Istri saya saja tidak mau melihat wajahmu," ungkap lelaki dewasa itu, terkesan dingin dan begitu menyakitkan, lelaki itu kembali melanjutkan kegiatannya tanpa menghiraukan Bagas yang mematung di sana.

"Kalau gitu, izinin Bagas temuin Bunda sekali ini aja ya? Nda di RS pusat kan Pah? Bagas pengen ketemu. Sejak hari itu Bagas belum pernah ketemu Unda lagi," pintanya meski ia yakin tak akan dibolehkan tapi ia nekat, sedangkan tangan Deni diam-diam mengambil vas bunga di atas meja didekatnya.

"Ga usah macam-macam kamu! Gak sadar apa yang terjadi sama istri saya sejak kamu nekat temuin dia?" hardik Deni sambil melemparkan sebuah vas bunga tepat di hadapan kaki Bagas.

Bagas tak menjawab apapun, ia kemudian melangkah ke dapur terduduk di lantai bersandar pada meja meja di dapur,  tak tahu bagaimana lagi intinya hanya ingin mencari sang ART, hanya wanita itu lah yang menganggap Bagas, yang tak menyalahkan Bagas.

Karena mati-matian meyakinkan diri bahwa itu bukan salahnya hanya lah hal sia-sia. Nyatanya memang benar salahnya kan? Buktinya Papanya saja tak pernah henti menyalahkan dirinya, juga sang Ibunda yang juga ikut membenci Bagas meski dalam keadaan tidak waras.

"Bagas...." ucap lembut Erni.

Bagas sedikit mendongak, air matanya bercucuran tanpa henti, sungguh perih hatinya saat ini, luka yang tak kunjung sembuh bahkan kian bernanah itu terlalu menyakitkan untuk ia tanggung sendiri.

"Sini, ga papa nangis aja," Erni mendekap tubuh jangkung lelaki itu, yang sudah seperti anaknya sendiri, "Kalo Bunda nya Agas di bawa berobat ke Singapura, kan dia pasti bisa sembuh, terus bisa inget sama Agas lagi. Jangan pikirin soal omongan Papa kamu, dia cuma lagi kesal aja itu," ucapnya terdengar menenangkan, sambil tak henti mengusap-usap punggung Bagas.

Bagas melepas dekapannya, bibirnya tersenyum walau air matanya masih dengan deras keluar dari ujung matanya.

"Bagas mau makan apa? Belum sarapan kan? Ayo, Ibu masakin spesial buat Bagas," ucap Erni lengannya naik menghapus air mata Bagas.

Bagas hanya terdiam sejenak, ia nampak menghela nafasnya susah payah, hidungnya tersumbat sekarang, "Bagas mau, nasi goreng pakai telor mata sapi, tapi dua telor nya," pinta Bagas dengan senyum begitu manis di wajah tampannya.

"Siap! Ibu bikinin nih," Erni berdiri, meraih kedua tangan Bagas, "Ayo duduk di kursi, jangan lesehan di sini," ucap Erni terkekeh kecil, Bagas tak pernah berubah.

Saat Ayahnya begitu kejam memperlakukannya, Bagas selalu saja ke dapur, walau tak berkata apa- apa dan menangis sambil terduduk di lantai dapur. Tapi Erni paham, Bagas sebenarnya  mencari sandaran, serta ingin mendapat perlindungan.

Dan Erni pasti selalu ada, tak membiarkan lelaki itu menangis sendirian di sana, Erni akan senantiasa menghapus air mata anak majikannya yang sudah seperti anaknya sendiri. Karena, Erni tak memiliki keluarga lagi sejak kecelakaan merenggut suami dan anaknya, melihat Bagas begitu tersakiti membuat hatinya tak mampu untuk membiarkan lelaki itu.

Erni tau semua yang terjadi itu kunci utamanya karena Bagas, tetapi Erni itu paham posisi Bagas, maupun posisi Ragas, mereka hanya saling salah paham karena tak berkomunikasi. Sehingga, berakhir menjadi hal yang tak di inginkan.

Will We Be Happy? || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang