72. Hilangnya kewarasan❄️✨

53 16 3
                                    

Ungkap masalah Aya ya hehe:)

Happy reading❤️‍🩹

❄️❄️❄️

Pukul satu dini hari. Aya sampai di tempat yang ia tuju, daerah Bogor.  Di depan sebuah rumah yang nampak sudah kosong, itu rumah lama sang Ibu. Aya masih mengingatnya dengan jelas, bagaimana pun daerah itu juga daerah yang sewaktu kecil sering ia kunjungi untuk bertemu saudara-saudaranya. Ia lanjut melangkah ke ke jalan yang nampak lengang tanpa kendaraan lalu-lalang, ditatapnya aspal hitam yang diinjak kakinya saat ini.

"Di sini kan, Pah. Di sini Papa pergi. Papa memang jahat, tapi Papa juga pernah jadi yang terbaik, dan di akhirnya Aya yang jadi penjahatnya kan?" lirih Aya, kini bersimpu di tepi jalanan itu.

Hatinya hancur lebur, dadanya sesak tak terkira, kepalanya berdenyut nyeri ketika semua ingatan-ingatan masa lalu bersama sang Ayah terlintas satu persatu.

Aya mengingat semuanya, di saat sang Ayah tak pernah memarahinya, tak pernah membentaknya, selalu mau direpotkan dengan Aya yang selalu ingin ikut karena tak mau berada di rumah, sang Ayah juga selalu menggendongnya kemana-mana sewaktu kecil, membelikan jajan tanpa ada memarahi seperti Ibu atau Neneknya.

Aya ingat kembali ini.

"Kenapa Aya bisa sampai lupa, Pah? Kenapa," Aya terisak karena begitu sesak, "Di mana Makam Papa?" lirih Aya kembali berjalan terseok-seok, bagaimana tidak, Aya baru saja kecelakaan, kaki dan tangannya saja saat ini terlihat terluka.

Aya terus berjalan, selang beberapa menit dari tempatnya berdiri nampak rumah dengan tenda dan kain putih yang terpajang di depannya. Kain putih, menandakan seseorang yang telah pergi kan? Aya mengerti itu, ia berjalan lagi mendekat tepat di halaman rumah tak berpagar itu.

Lagi-lagi tatapan Aya kian meredup, matanya semakin sayup, wajahnya tanpa ekspresi, menatap ke arah dalam rumah itu. Ada orang-orang yang membacakan yasin, mengelilingi seorang yang tertutup rapi oleh kain batik.

"Apa lagi ini?" gumam Aya, kini sudah tak merasakan apa-apa lagi. Tiba-tiba terasa hambar dan kosong, semuanya terasa hampa seakan Aya kini tidak sadarkan diri. Apakah Aya masih waras? Tidak bisa dipastikan juga.

"Dek? Jangan berdiri di sini aja, ayok masuk," ajakan ramah seorang Ibu-ibu yang baru saja datang, "Nek Wati baru meninggal tengah malam tadi di rumah sakit," ucapnya ramah kemudian pergi mendahului ke dalam rumah.

Aya hanya tetap diam, sudah paham. Ternyata sang Nenek telah tiada, tapi hatinya tak lagi merasa sesak atau sedih, tak tahu lagi cara berekspresi.

"Aya?" ucap seorang wanita mendekat dari dalam, "Waras kamu? Sampai bisa balik ke sini?" ucap Wanita itu enteng, tanpa menunggu Aya menjawab ia mlengos lagi masuk ke dalam rumah.

Waras kamu? Apa itu pantas dipertanyakan oleh seorang yang telah melahirkannya ke dunia ini? walau memang tak pernah memberikan kasih sayangnya secara penuh, juga tak pernah memperhatikan atau pun peduli padanya seperti Ibu pada umumnya, tapi bukankah itu tidak pantas? Sudahlah.

Aya tak mau merespon, mulutnya juga seakan terkunci tak tahu harus berkata apa lagi, lelah sekali. Ini sudah di luar batas kemampuannya.

Aya memilih berbalik arah, air matanya terus luruh, kakinya yang tanpa alas dipaksa berlari tak peduli seberapa sakit kerikil jalanan melukai kakinya, dan kini Aya memilih untuk duduk bersandar pada sebatang pohon tepat di tepi jalan kecil, di sana tak terlihat rumah warga.

Hampir satu jam Aya tak bersuara, tak juga menangis, tak lagi merasa sesak, ia hanya hampa bagaikan sedang terbawa hanyut oleh arus sungai yang mengalir. Hingga kemudian dua orang berbadan tinggi berada tepat di hadapannya.

Will We Be Happy? || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang