Chp. 33: Harapan

515 38 0
                                    

____________________________________

HAPPY READING
____________________________________

Di dalam kamar Bianca, dia dikejutkan dengan kehadiran Adrian, Leonard, Nathaniel, Kaelan dan Marcus yang datang dengan tiba-tiba.

Bianca meneriaki dan memarahi mereka karena telah membuatnya terkejut. Namun, justru mereka berjalan menghampiri Bianca dan memberikan lembaran kertas.

Bianca membacanya dan seketika dia membolakkan matanya terkejut, membaca berulangkali takut-takut ia salah baca.

"Jadi, semua ini adalah ulah Felix?" gumam Bianca, memandangi dokumen-dokumen bukti yang baru saja ditemukan.

Sebelumnya, Adrian, Leonard, Nathaniel, Kaelan, dan Marcus telah bekerja keras mengumpulkan bukti-bukti tersebut. Mereka telah menginterogasi tahanan, menyelidiki jejak-jejak tersembunyi, dan menghubungkan titik-titik yang tersebar. Setiap potongan bukti yang mereka temukan semakin mengarahkan mereka pada satu nama: Felix.

"Ini adalah laporan dari penyerangan pertama," jelas Adrian sambil menunjukkan sebuah dokumen. "Kesatria Thaloria yang digunakan dalam penyerangan itu ternyata disewa oleh seseorang yang menggunakan nama samaran. Setelah ditelusuri, uang pembayaran itu ternyata berasal dari harta pribadi Felix."

Bianca membaca dengan cermat setiap kata di laporan itu. "Dan ini," lanjut Nathaniel, menunjukkan dokumen lain, "adalah bukti yang mengaitkan Felix dengan pemberontakan rakyat. Kami menemukan surat-surat yang menghasut rakyat untuk memberontak, dan semua surat itu ditulis dengan tangan yang sama - tangan Felix."

Leonard menambahkan, "Tidak hanya itu. Kami juga menemukan bukti bahwa Felix yang memanah panah berisi racun itu. Lihatlah laporan balistik ini, panah itu dibuat oleh seorang pandai besi yang hanya bekerja untuk Felix."

Bianca menggelengkan kepalanya dengan tidak percaya. "Felix... dia melakukan semua ini. Tapi kenapa?"

"Itulah yang belum kita ketahui," jawab Marcus dengan serius. "Kita tahu dia pelakunya, tapi kita masih belum tahu apa tujuan akhirnya. Dan sepertinya, dia bertindak sendirian dan tidak mendapatkan perintah dari raja dan ratu Lysoria."

"Tunggu, panah beracun? Mengapa kalian mengetahui tentang kejadian itu?" Tanya Bianca terkejut, pasalnya dia tidak memberitahukan kejadian di kota.

"Kau meremehkan orang-orang kami?" Tanya Kaelan tersenyum penuh arti.

Bianca memandang suaminya satu per satu, dia lupa jika para tokoh utama adalah orang psikopat. Meskipun begitu, dia merasakan beban dari informasi yang baru saja mereka ungkap. "Kita harus mencari tahu alasannya. Jika kita bisa mengerti motifnya, kita mungkin bisa menghentikannya sebelum dia menyebabkan lebih banyak kerusakan."

Nathaniel mengangguk setuju. "Kita harus menyusun rencana untuk menghadapinya. Tapi pertama-tama, kita harus memastikan bahwa semua bukti ini disimpan dengan aman dan tidak bisa dirusak oleh siapa pun."

Kaelan berbicara dengan nada tegas, "Aku akan memastikan bahwa bukti-bukti ini diamankan di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh Felix atau pengikutnya."

"Bagus," kata Bianca, menatap dokumen-dokumen itu sekali lagi. "Kita harus tetap waspada. Felix sudah menunjukkan bahwa dia mampu melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Kita harus siap menghadapi apa pun yang dia rencanakan selanjutnya."

Mereka semua setuju dan mulai bergerak untuk mengamankan bukti-bukti tersebut dan menyusun rencana untuk mengungkap motif sebenarnya di balik tindakan Felix.

***

Untuk menghilangkan stres setelah pertempuran sengit dan intrik politik yang tak henti-hentinya, Bianca memutuskan untuk menikmati waktu minum teh bersama Marie di taman istana. Taman itu penuh dengan bunga berwarna-warni yang sedang mekar, memberikan pemandangan yang menenangkan di bawah sinar matahari sore yang hangat. Suara burung berkicau lembut mengiringi angin sepoi-sepoi yang berhembus, menambah kesan damai di taman tersebut.

Bianca dan Marie duduk di sebuah meja kecil yang terbuat dari besi tempa, dihiasi dengan taplak meja renda putih dan set teh porselen berwarna pastel. Marie menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir mereka dengan tangan yang halus namun tegas.

"Aku sangat berterima kasih bisa memiliki waktu tenang seperti ini," ujar Bianca dengan senyum lembut, menerima cangkir itu dan menghirup aroma teh yang menenangkan.

"Benar, yang mulia. Ini adalah momen yang sangat kita butuhkan setelah semua kekacauan yang terjadi. Bagaimana perasaan anda sekarang, yang mulia?"

Bianca menghela napas panjang sebelum menjawab, "Jujur saja, aku merasa sedikit lega tetapi tetap waspada. Ada banyak hal yang masih harus kita selesaikan, terutama dengan ancaman dari Felix dan kerajaannya. Kita masih tidak tahu, apakah raja dan ratu Lysoria terlibat dalam hal ini. Tapi saat ini, aku hanya ingin menikmati momen ini denganmu."

Marie mengangguk, memahami beban yang ditanggung oleh Bianca sebagai pemimpin. "Anda telah melakukan yang terbaik, yang mulia. Aku yakin kita bisa mengatasi semua ini bersama-sama. Bagaimanapun juga, kita memiliki banyak orang yang mendukung kita."

Bianca tersenyum dan meraih tangan Marie yang terletak di atas meja, "Terima kasih, Marie. Dukunganmu selalu berarti bagiku."

Sungguh sangat bersyukur atas kehadiran Marie. Seperti di dalam novel, Marie adalah sosok yang hangat dan menyayangi Elara. Bahkan, sampai novel itu berakhir pun, sifatnya masih sama.

"Elara sangat beruntung," batin Bianca dengan senang.

Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati teh mereka sambil memandangi keindahan taman di sekitar mereka. Angin sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan dan bunga-bunga, menciptakan suara gemerisik yang menenangkan.

Marie, sambil menyesap tehnya, tiba-tiba berkata, "anda tahu, yang mulia, ada satu hal yang selalu membuat saya merasa tenang, yaitu kebersamaan kita seperti ini. Kita bisa berbicara tentang apa saja tanpa tekanan, tanpa rasa takut akan ancaman di luar sana."

Bianca mengangguk setuju. "Benar sekali. Aku merasa bisa berbagi semua bebanku denganmu, dan itu membuatku merasa lebih kuat. Terima kasih, Marie."

Marie tersenyum hangat, "saya selalu ada di sini untukmu, yang mulia. Kita akan menghadapi semua ini bersama-sama."

"Iyaa, dan aku harap kau tidak akan mengkhianati ku, Marie." Ujar Bianca dalam hati.

***

Kini, Bianca berada di ruang makan bersama para suami Elara. Mereka tengah menikmati makan malam bersama, suasana hangat diselingi dengan canda tawa yang dipicu oleh Leonard, Nathaniel, dan Marcus. Adrian dan Kaelan, meskipun lebih pendiam, ikut menyimak sambil sesekali tersenyum.

"Jadi, Nathaniel, bagaimana ceritanya kau bisa tersesat di dalam istana sendiri?" tanya Leonard sambil tertawa, membuat semua orang ikut tertawa.

Nathaniel mengangkat bahu, pura-pura kesal. "Itu bukan salahku! Istana ini seperti labirin."

Marcus menyahut, "Mungkin kau perlu peta atau pemandu pribadi." Candaannya membuat tawa meledak kembali di ruangan itu.

Setelah mereka selesai makan, para pelayan mulai menyajikan makanan penutup dan teh yang menenangkan. Bianca mengucapkan terima kasih kepada para pelayan dan mengizinkan mereka pergi. Dia mengangkat cangkir tehnya, menyesapnya hingga habis, merasakan kehangatan menyebar dalam tubuhnya.

Namun, tiba-tiba pintu ruang makan terbuka dengan keras, membuat semua orang terkejut. Alaric muncul dengan nafas terengah-engah, wajahnya dipenuhi kecemasan.

Adrian bangkit dari kursinya, wajahnya memerah marah. "Alaric, apa kau tak tahu sopan santun? Mengapa kau tiba-tiba masuk tanpa pemberitahuan?"

Alaric segera membungkuk, memohon maaf. "Maafkan saya, yang mulia Adrian, tapi ini penting. Vivienne telah melarikan diri dari penjara!"

"APA?!"

____________________________________

TO BE CONTINUED
____________________________________

Beyond The Final Chapter [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang