Chp. 34: Melarikan Diri

542 40 0
                                    

____________________________________

HAPPY READING
____________________________________

"Maafkan saya, Yang Mulia Adrian, tapi ini penting. Vivienne telah melarikan diri dari penjara!" katanya dengan satu tarikan nafas.

"APA?!" Semua orang terkejut dan berdiri dari duduk mereka.

"Apa maksudmu? Kau bercanda?!" Kaelan marah, wajahnya memerah karena emosi.

"Tidak, Yang Mulia," jawab Alaric dengan serius. "Saya mendapatkan kabar bahwa Vivienne telah menghilang. Setelah saya periksa, ternyata benar, semua rantai itu terlepas. Namun, anehnya, tidak ada kerusakan di sel tahanan."

"Apakah itu berarti ada orang dalam yang membantu dia keluar?" tanya Marcus, pandangan mereka saling bertukar penuh kekhawatiran.

Mendengar berita itu, Leonard menurunkan sendoknya dengan keras. Nathaniel dan Kaelan saling bertukar pandang dengan cemas, sementara Kaelan mengerutkan kening, berpikir dalam.

"Uhm..." Bianca mengeluarkan suara lenguhan aneh, menarik perhatian mereka.

Mereka semua menoleh ke arah Bianca. Seketika mereka terkejut melihat keadaan Bianca yang tampak tidak baik-baik saja. Gadis itu menggeliat dan mengipasi tubuhnya dengan pakaian yang dikibaskan, memperlihatkan belahan dadanya. Wajah mereka memerah, pandangan teralihkan.

"P-panas..." lenguh Bianca, tubuhnya semakin menggeliat tidak nyaman. Pipinya sudah memerah, matanya sayu.

Tubuh Bianca hampir ambruk, namun segera ditahan oleh Adrian yang membantunya berdiri. "Elara!"

Leonard mendekat, panik. "Apa yang terjadi? Elara, kau baik-baik saja?"

Seorang pelayan yang berdiri di sudut ruangan, memperhatikan kejadian itu dengan cemas. Dia mengepalkan tangannya, wajahnya berubah pucat. "Sialan," bisiknya pelan, tak terdengar oleh siapapun. "Apakah teh nya tertukar?"

Nathaniel memandang yang lain dengan tatapan khawatir. "Kita tidak punya waktu untuk ini. Alaric, panggil tabib sekarang juga!"

Alaric segera berlari keluar ruangan, sementara Nathaniel dan Adrian membantu menopang Bianca. Bianca mencoba berbicara, tetapi dia selalu bergerak tidak nyaman dan berkata panas sambil melenguh.

"Tenang, Bianca. Kami akan mencari tahu apa yang terjadi," bisik Nathaniel lembut, mencoba menenangkan Bianca yang semakin lemah.

Leonard berdiri, tangannya mengepal kuat. "Kita harus menangkap Vivienne kembali. Ini tidak bisa dibiarkan."

Adrian mengangguk setuju, matanya masih penuh dengan kemarahan. "Vivienne akan membayar untuk ini. Tapi sekarang, yang terpenting adalah memastikan Bianca selamat."

Suasana ruang makan yang tadinya hangat dan penuh canda tawa berubah menjadi tegang dan penuh kekhawatiran. Malam yang seharusnya menjadi momen istirahat berubah menjadi krisis baru yang harus dihadapi oleh mereka semua.

Mereka akhirnya sampai di kamar Bianca yang sangat luas, dindingnya dihiasi dengan kain sutra dan lampu kristal yang berkilauan. Tirai tebal mengelilingi tempat tidur besar yang dihiasi dengan seprai putih bersih. Namun, suasana yang biasanya tenang dan nyaman berubah menjadi penuh ketegangan.

Alaric datang bersama tabib, seorang pria berusia lanjut dengan wajah penuh kerutan yang tampak gugup.

"Segera periksa dia," kata Marcus dengan nada tajam.

Tabib itu mendekat, tangannya gemetar saat meraba denyut nadi Bianca. Dia bisa merasakan tatapan tajam para suami Elara yang mengawasinya dengan cemas dan marah. Kegelisahan menyelimuti ruangan seperti kabut tebal, membuat suasana semakin mencekam. Meskipun begitu, tabib itu berusaha memeriksa dengan teliti, jari-jarinya bergerak dengan hati-hati di sepanjang leher dan pergelangan tangan Bianca.

Setelah beberapa saat, tabib itu terkejut, wajahnya memucat. "Yang Mulia Ratu telah meminum obat narkotika yang sering digunakan para bangsawan untuk menambah rangsangan," jelas tabib itu, suaranya bergetar. "Namun, obat yang diminum lebih kuat dan berfungsi sebagai perangsang."

Mereka yang mendengarnya terkejut, ekspresi mereka berubah drastis. Marie, pelayan Bianca, segera berkata, "Yang Mulia Ratu tidak pernah meminum hal seperti itu."

Adrian, dengan nada tegas, angkat bicara, "Kondisi Elara masih baik-baik saja tadi, tapi setelah meminum teh, dia jadi bersikap seperti ini."

Leonard, Nathaniel, Kaelan, dan Marcus menganggukkan kepala, menyetujui itu. Kegelisahan semakin terasa di udara.

Kaelan, dengan suara yang bergetar karena cemas, bertanya, "Bagaimana cara mengobati Elara? Sepertinya dia sangat kesakitan."

Tabib itu menjawab dengan suara rendah, "Tidak ada obat untuk ini. Yang harus dilakukan adalah mendiamkan Yang Mulia seorang diri."

Leonard, wajahnya merah karena marah, bertanya, "Apakah tidak ada cara lain?"

Tabib itu menjawab dengan hati-hati, "Ada cara lain, yaitu membantu Yang Mulia untuk menghilangkan obat itu dengan rangsangan juga. Melakukan hubungan intim agar Yang Mulia Ratu bisa pulih. Jika tidak, maka dia akan terus tersiksa sampai besok pagi."

Mereka terkejut mendengarnya, Nathaniel menggelengkan kepalanya, "Tidak bisa. Kami tidak mungkin melakukan itu tanpa kesadaran Elara."

Di tengah-tengah kegelisahan itu, tubuh Bianca semakin menggeliat tidak nyaman. Wajahnya memerah, bibirnya mengeluarkan suara lenguhan, dan tanpa sadar, dia membuka satu persatu helaian kain yang membalutnya, segera berkata, "T-tolong aku, ini panas sekali."

"Marie, mengapa disini panas sekali?" Tanya Bianca dengan suara serak menatap Marie.

Marie, melihat tinggal tersisa satu helai kain, segera menutupi tubuh Bianca dengan selimut. "Yang mulia harus melakukan sesuatu," mohon Marie, suaranya penuh dengan kepanikan dan keputusasaan.

Marie pun membawa tabib dan Alaric keluar dari ruangan. Alaric menuruti dan sesekali melihat Bianca yang seperti kesakitan dengan pandangan sendu.

"Semoga kau baik-baik saja, Elara." Ujar Alaric dalam hati.

Tersisalah para suami Elara yang saling memandang satu sama lain di kamar Bianca yang luas dan mewah. Cahaya lampu kristal yang berkilauan di langit-langit menciptakan bayangan-bayangan gelap di sudut-sudut ruangan. Keheningan mencekam seolah menekan dada mereka, membuat napas terasa berat. Mereka bisa mendengar napas tersengal Bianca, yang semakin panas dan gelisah akibat obat perangsang itu.

Marcus, yang biasanya tenang, kini berbicara dengan nada mendesak kepada Adrian, "Langkah apa yang harus kita ambil? Kau harus cepat memutuskan, karena kau suami pertama sekaligus yang tertua di sini."

Adrian menundukkan kepalanya, mengepalkan tangannya. Rasa bersalah masih menyelimutinya, seolah menghantui setiap keputusan yang harus diambil. Tatapannya tertuju pada Bianca yang semakin menggeliat tidak nyaman di tempat tidurnya. Kegelisahan dan ketegangan memenuhi pikirannya. Namun, melihat Bianca yang semakin tersiksa, dia menjadi bimbang.

Bianca, dengan wajah memerah dan napas tersengal, melepaskan selimut yang dipakaikan padanya dan berkata, "P-panas. Kaelan, bisakah kau membukakan jendela? Ini sangat panas."

Tetapi tidak ada yang menggubris, karena mereka terlalu terkejut melihat Bianca yang sudah tidak mengenakan sehelai benang pun. Cahaya lampu kristal menerangi tubuhnya yang basah oleh keringat, memperlihatkan bagaimana obat itu mempengaruhi dirinya.

Leonard, dengan wajah penuh ketegasan, berbicara, "Sudahlah, ini keputusan ku. Aku akan bertanggung jawab atas ini. Kalian terserah."

Malam itu, ruangan hanya terisi suara lenguhan dan kehangatan yang mengisi satu sama lain. Meskipun dalam keraguan dan kegelisahan, mereka melakukan yang terbaik untuk menghilangkan penderitaan Bianca, memberikan kenyamanan dan kehangatan yang dibutuhkan gadis itu. Ah, maksudnya wanita.

____________________________________

TO BE CONTINUED
____________________________________

Beyond The Final Chapter [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang