____________________________________
HAPPY READING
____________________________________Hujan deras mengguyur bumi, seolah turut merasakan duka yang menyelimuti hati semua yang hadir di pemakaman Alaric. Tetesan air hujan bercampur dengan air mata yang mengalir dari mereka yang ditinggalkan, menciptakan suasana muram dan penuh kesedihan.
Alaric baru saja dimakamkan. Hanya ada orang tua Alaric, Bianca, dan para suami Elara yang berdiri di sana, ditemani oleh keheningan yang penuh duka. Ibu Alaric jatuh berlutut di samping makam putranya, memeluk batu nisan sambil terisak-isak.
"Alaric! Bangunlah, Nak!" jeritnya, suaranya penuh harap namun terdengar putus asa. Tangisannya menggema di antara tetesan hujan, merobek hati siapa pun yang mendengarnya. Ayah Alaric berdiri di sampingnya, memayungi istrinya dengan tangan yang gemetar. Meskipun wajahnya tegar, matanya memperlihatkan kesedihan yang mendalam.
Bianca berdiri kaku, tanpa ekspresi. Tangan yang terkepal erat menunjukkan pergulatan batinnya. Pandangannya terpaku pada makam Alaric, penuh rasa bersalah yang menyiksa. Ia merasa tak berguna, merasa hanya menjadi beban yang tak mampu menyelesaikan apapun.
Leonard berdiri di sampingnya, memayungi Bianca dengan tatapan penuh belas kasihan. "Elara, hari sudah semakin larut. Ayo kita pulang," kata Adrian dengan lembut.
Namun, Bianca menggelengkan kepalanya perlahan. Dia justru melangkah maju, menghampiri orang tua Alaric dengan tekad yang bulat. Para suami Elara terkejut, namun tetap diam, membiarkan Bianca melakukan apa yang ingin dilakukannya.
Bianca membungkuk di bawah derasnya hujan, tubuhnya basah kuyup. "Maafkan aku... Semua ini salahku..." katanya lirih, suaranya nyaris tertelan oleh suara hujan. Kaelan segera mendekat, memayungi Bianca dengan tangannya yang besar dan kuat.
Ayah Alaric berdiri perlahan, menatap Bianca dengan senyum pedih. "Yang Mulia, ini sudah takdirnya. Mungkin ini pilihan Alaric. Jangan salahkan dirimu sendiri."
Bianca menggeleng lagi, air mata bercampur dengan hujan di wajahnya. "Jika aku tidak ada, Alaric tidak akan mengalami ini. Seharusnya aku yang mati, bukan dia..."
"ELARA!" teriak Kaelan dengan suara yang tegas, mencoba menghentikan Bianca.
"Apa? Kenapa? Memang ini semua salahku," jawab Bianca dengan mata yang penuh kesedihan. "Seharusnya aku lebih bisa menjaga diriku sendiri. Seharusnya aku yang mati, bukan Alaric. Dia masih bisa melanjutkan hidupnya, bukan seperti ini."
Nathaniel datang menghampiri, mencoba menenangkan Bianca dengan memegang bahunya. Namun, Bianca tidak peduli. Dia berjalan menjauh, tubuhnya gemetar di bawah guyuran hujan. Isak tangisnya terdengar lirih, namun penuh dengan penderitaan.
Dari kejauhan, Cedric memperhatikan bagaimana Bianca menangis. Tangannya terkepal erat, hatinya ikut terluka melihat Bianca dalam kesedihan seperti itu.
"Aku ingin membawa mu pergi dari neraka ini, ayunda. Aku ingin membuat mu, bahagia. Sungguh." Gumam Cedric dengan sendu.
Adrian menghampiri ayah Alaric, "Maafkan kami karena telah membuat keributan," ucapnya.
Ayah Alaric menggelengkan kepala, "Tidak apa-apa. Tolong berikan ini kepada Yang Mulia Ratu," katanya, menyerahkan sebuah kotak kecil.
Adrian mengangguk, lalu bergegas menyusul Bianca, diikuti oleh Leonard, Nathaniel, Kaelan, dan Marcus. Mereka berusaha melindungi Bianca dari hujan, namun tak satu pun dari mereka yang bisa melindungi hatinya dari rasa sakit.
Seseorang yang tak jauh dari mereka, memperhatikan bagaimana Bianca pergi, lalu diikuti oleh suaminya. Matanya beralih menatap Cedric yang juga bersembunyi di balik bayangan pohon. Orang itu mengepalkan tangannya, kebencian yang mendalam terpancar dari matanya.
"Mengapa kau selalu beruntung, Elara?" bisiknya dengan suara yang penuh dendam. "Mengapa kau dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangimu? Sedangkan aku, orang yang aku sayangi, dibawa pergi. Dan itu karena ulahmu. Dan sekarang? Kau mengulangi hal yang sama. Orang yang aku cintai kini pergi, meninggalkanku sendirian. Kau tahu, Elara? Aku sangat membencimu. Bahkan, aku ingin merobek mulutmu yang selalu tersenyum di atas penderitaan orang lain itu. Lihat saja, Elara. Aku akan membunuhmu."
Hujan terus turun, menyamarkan air mata dan rasa sakit yang dirasakan oleh setiap orang yang hadir. Namun, kebencian dan dendam yang menyelimuti hati beberapa di antaranya tetap membara, menunggu waktu yang tepat untuk meledak.
***
Bianca duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong ke arah meja yang penuh dengan kertas-kertas berserakan. Pikirannya kalut, bingung harus mulai dari mana. Mencari Vivienne dan Felix terasa seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Kepalanya pening, hatinya kacau balau.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka perlahan. Adrian muncul, diikuti oleh Leonard, Nathaniel, Kaelan, dan Marcus. Wajah mereka penuh keseriusan. Adrian membawa sebuah kotak kecil di tangannya, yang dia serahkan kepada Bianca dengan hati-hati.
"Ini dari ayah Alaric," kata Adrian lembut.
Dengan tangan gemetar, Bianca membuka kotak itu. Di dalamnya, dia menemukan sebuah surat. Perlahan, dia membuka surat itu dan mulai membaca. Tulisan tangan Alaric yang familier langsung menusuk hatinya.
"Jika Yang Mulia membaca ini, itu berarti saya sudah tidak ada. Maafkan saya karena saya tidak bisa menjaga Yang Mulia lagi. Ini adalah petunjuk yang telah saya dapatkan yang mungkin bermanfaat bagi Yang Mulia. Saya sudah curiga jika Pangeran Felix memiliki maksud tersembunyi. Oleh karena itu, saya terus menyelidikinya. Semua yang terjadi pada Yang Mulia dan istana adalah karena ulah Pangeran Felix. Namun, ada seseorang di dalam istana yang bekerja sama dengan Pangeran Felix. Orang pertama bisa dipastikan adalah Vivienne. Ada lagi, orang itu sangat mengetahui tentang istana sampai ke dalam-dalamnya. Namun, maaf, saya masih belum bisa menemukan siapa orang itu, karena dia sangat cerdas menyembunyikan diri. Inilah alasan mengapa saya tidak mengungkapkan langsung secara terang-terangan, karena ada orang terdekat yang berkhianat. Bersama surat ini, saya memberitahukan tempat-tempat yang kemungkinan besar menjadi tempat persembunyian Pangeran Felix. Temukanlah dia dan pengkhianat itu, berikan hukuman yang setimpal. Saya yakin, Yang Mulia akan menjadi ratu yang paling jaya. Sehat selalu ya, Yang Mulia. Saya akan menjaga Yang Mulia dari atas sini."
Air mata Bianca mengalir tanpa henti saat dia selesai membaca surat itu. Tangannya meremas kertas tersebut, hatinya terasa sesak seperti diikat erat. Perasaan bersalah, kehilangan, dan kemarahan berbaur menjadi satu, menciptakan badai emosi yang tak tertahankan.
"Alaric... maafkan aku..." isaknya, suara yang pecah penuh kesedihan. Dia menangis sejadi-jadinya, tubuhnya terguncang oleh isak tangis yang tak terkendali.
Nathaniel, dengan lembut mengusap bahu Bianca, mencoba menenangkan gadis itu. "Elara, kita akan menemukan mereka. Kita akan membuat mereka membayar atas apa yang telah mereka lakukan," ujarnya dengan penuh empati.
Adrian dan yang lain mulai membaca petunjuk yang diberikan oleh Alaric. Mereka membandingkan dengan informasi yang sudah mereka kumpulkan, mencoba merangkai potongan-potongan teka-teki yang berserakan.
"Ini dia," kata Marcus, menunjuk sebuah peta yang terhampar di atas meja. "Alaric memberikan beberapa tempat yang bisa kita periksa. Kita harus bergerak cepat."
Bianca mengangkat kepalanya, matanya merah dan bengkak karena menangis. Namun, di balik kesedihan itu, ada tekad yang mulai menyala. "Kita harus mulai dari pelabuhan tua," katanya dengan suara serak. "Menurut surat ini, ada kontak Felix di sana."
Kaelan mengangguk. "Kita akan mempersiapkan segala sesuatu dan berangkat malam ini."
Leonard menatap Bianca dengan penuh belas kasihan. "Kita semua di sini untukmu, Elara. Kita akan menemukan mereka dan memberikan keadilan untuk Alaric."
____________________________________
TO BE CONTINUED
____________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Final Chapter [END]
FantasiaKarena kecelakaan ditabrak kereta, Bianca terbangun di ruangan asing dengan tubuh seorang wanita yang mendapatkan peran tokoh utama di dunia novel. "G-gue jadi tokoh utama yang punya 5 suami?!" Bianca, kini bereinkarnasi menjadi putri mahkota yang...