12 - Apa Langit mati, aja, ya?

721 79 21
                                    


Rumah itu apa? Kenapa tidak pernah ada kehangatkan di dalamnya. Hanya rasa perih yang memeluknya.

Michelle baru saja selesai ganti baju di kamar mandi. Ia hendak ke kelas, disaat ia masuk kelas. Ia terkejut mendapati Langit sedang berganti baju. Badan Langit begitu kekar dan manly, membuat Michelle terpesona.

Namun ada hal lain yang membuatnya syok. Ada luka di punggung Langit. Seperti Luka cambuk dan sabetan. Kenapa Langit punya luka sebanyak itu? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa itu luka dari hasil latihan atau dibulli?

Langit menyadari kehadiran seseorang, ia menoleh. Michelle langsung membalikkan badan.

"Maaf Langit, aku kira gak ada orang." Setelah mengatakan itu Michelle lari terbirit-birit keluar dari kelas. Michelle penasaran dari mana datangnya luka di punggung Langit.

Tak lama kemudian Langit keluar dari kelas. Michelle yang jongkok di depan pintu, dikagetkan dengan Langit.

"Maaf Langit aku gak sengaja liat luka di punggung kamu. Kalau boleh tau itu kenapa?"

"Bukan urusan kamu." Langit membalas dengan bahasa isyarat.

"Gak kamu obatin, nanti infeksi."

'Gak mungkin gue bilang ke Michelle kalau luka di punggung gue itu karena ayah sering mukul gue.' ujar Langit dalam hati. Meski ayahnya jahat pada dirinya. Langit gak pernah bilang ke orang-orang. Langit selalu nyimpen rasa ini sendirian.

"Kamu gak mau cerita sama aku? Aku cuma mau bilang, aku bakal jadi rumah buat kamu. Walau aku bukan keluarga kamu, bukan siapa-siapa kamu."

"Gue lagi sedih kaki gue sakit, sedangkan 4 bulan lagi gue mau ada turnanem. Jangan ganggu gue dulu."

Michelle rasa Langit tidak suka kalau membahas masalah luka dipunggung cowok itu. Dia kayak berusaha menyembunyikan hal itu. Padahal Michelle mau bantu obatin.

"Oh, iya Langit aku ada sesuatu buat kamu."

Michelle menarik Langit masuk ke dalam kelas. Lalu ia mengambil sebuah kotak makan dari tasnya. Ia membuat Mochi rasa matcha untuk Langit. Ia membuat makanan tersebut dengan cinta.

"Aku bikinin kamu mochi rasa matcha. Apapun yang terjadi sama kamu, aku yakin kamu bisa lewatin itu."

"Gue gak suka Matcha. Gue buang." Langit membawa kotak bekal Michelle keluar kelas.

Michelle terdiam ketika melihat gerakan tangan Langit tadi. Sakit sih, tapi gak apa-apa. Langit memang kasar. Padahal ia sudah berusaha dengan keras membuat Mochi itu. Ia tidak tahu kalau Langit tidak suka Matcha.

"Kamu ngapain bengong?" Letta datang, ia menatap bingung ke arah Michelle yang melamun. Wajahnya terlihat sendu dan galau.

"Eh enggak, tadi habis ngasih Langit Mochi, ternyata dia gak suka Matcha."

"Oh, iya gue lupa kasih tau, dulu Rafael pas Langit ulang tahun dia sengaja kasih Langit Kue Matcha sampai Langit muntah. Tapi tadi gue liat Langit makan mochi di deket lapangan."

Michelle terkejut ia tak menyangka kalau Langit rela habisin Matcha yang gue bikin. Padahal tadi dia bilang mau buang mochi itu.

***

Langit terdiam menatap makanan yang diberikan Michelle. Ia awalnya ingin membuang Mochi tersebut. Namun ia urungkan. Ia melihat sebuah kertas bertuliskan sesuatu.

"I'm really worried about you, I'am always here for you, please tell me, if you are not, okay."

Tanpa sadar Langit terharu membaca itu. Ia tersenyum kecil. Michelle memang bisa membuatnya tak berdaya seperti ini.

Langit juga anak ayah | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang