Jam istirahat, Langit ke belakang sekolah ia baru saja selesai dari kamar mandi. Letak kamar mandi agak dekat dengan belakang sekolah. Namun tiba di sana, ia melihat Laut adiknya sedang di bully. Adiknya itu sepertinya sedang dipalak. Naluri sebagai seorang kakak membuatnya mendekat. Ia langsung menangkis pukulan yang ingin dilayangkan ke Laut.
"Kak Langit?" ujar Laut terkejut.
"Wah ada si cacat di sini. Gak usah sok jadi pahlawan."
"Udah hajar aja."
"Cuma lawan si idiot mending abisin aja dua orang ini."
Langit menahan semua pukulan yang datang meski kaki kanannya masih sakit tapi ia bisa menangkis menggunakan tangan dan kaki kirinya. Hal itu membuat kerumunan itu menyerah. Mereka berhenti menggangu Langit. Mereka memutuskan untuk pergi.
"Makasih, Kak."
Langit tak menghiraukan ia lebih memilih pergi dari situ. Ia tidak ingin ada yang tau mereka itu kakak dan adik.
Laut terdiam, ia merasa jahat sekali menjadi saudara. Padahal ia tak pernah bisa menjadi adik yang baik untuk Langit. Namun kakaknya itu masih peduli dengannya. Mau menolongnya, dan tidak bersikap cuek seolah-olah tak mengenal.
Mengingat kejadian semalam membuat Laut menyesal. Ia memang sengaja mematikan ponsel miliknya. Itu semua juga karena perintah ayahnya. Ia juga kasihan dan tidak tega melihat kakaknya itu tidur di luar. Hanya saja ia tak bisa membantah perkataan ayah. Ia menyesal telah melakukan hal sejahat itu pada Langit yang masih baik padahnya. Dan tidak pernah dendam dengannya.
Langit memutuskan kembali ke kelas. Ia duduk di kursinya. Paling tidak ia ingin memberitahu Laut. Meski mereka tidak dekat, tapi rasa sayangnya sebagai kakak yang akan melindungi adiknya disaat kesusahan akan selalu ada.
"Kayaknya si Michelle lagi kebingungan."
Mendengar nama Michelle membuat Langit jadi tertarik. Apa yang terjadi dengan gadis itu?
"Siapa suruh belagu sok pahlawan, ujung-ujungnya dimusuhin satu kelas."
"Udah dibilangin jangan bela si langit, keras kepala sampai nolak rafael demi si bisuu itu."
"Ssst, ada langit ternyata."
"Kalau nanti dia lapor ke Michelle gimana?"
"Biarin aja. Biar si Michelle intropeksi diri."
Langit menghela napas dalam-dalam. Sudah ia tebak akhirnya akan seperti ini. Ia sudah memperingatkan si mochi itu untuk menjauhinya, tapi gadis itu keras kepala.
Langit terdiam, apa yang ia takuti akan terjadi. Gara-gara dekat dengan dirinya Michelle jadi dimusuhi oleh satu kelas. Padahal ia tak mau itu sampai terjadi. Michelle memang terlalu bodoh dan polos. Padahal hidupnya sudah bahagia malah jadi begini karena membelanya. Ia jadi merasa bersalah.
Sepuluh menit kemudian, Michelle datang. Sepertinya gadis itu baru tiba, dilihat di tangannya membawa buku. Gadis itu menghampiri dirinya. Michelle duduk di sampingnya dengan tenang seolah-olah tak peduli dengan teman-temannya yang memandang kesal ke arah Michelle. Jujur Langit sangat tahu arti tatapn benci yang dilayangkan ke Michelle. Pasti mereka tidak suka dengan Michelle karena terlalu dekat dengannya.
Langit harus bisa membuat Michelle menjauh darinya. Ia tak mau Michelle ikut dibully juga.
Kenapa kamu sebodoh itu Michelle hanya demi bisa temenan sama aku. Kamu ngorbanin diri kamu sendiri?
"Langit liat aku nemu novel baru di perpustakaan. Kamu udah baca?" Langit menggelengkan kepala. Ia belum membaca novel yang dipegang oleh Michelle.
"Kenapa ini bagus?" Michelle saja langsung suka ketika membaca blurb di novel tersebut. Ia pikir Langit juga akan menyukai novel itu. Mengingat kemarin ia melihat Langit yang fokus membaca sebuah novel tentang percintaan juga. Langit juga menulis buku diary. Ia rasa Langit suka dunia fiksi. Maka dari itu ia yang juga suka cocok. Apakah mereka jodoh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit juga anak ayah | Tamat
Teen Fiction"Gue gak pernah minta dilahirin, di dunia." -Langit. "Anak ayah bukan hanya Laut dan senja saja, tapi yang ayah sayang hanya mereka, langit juga nggak pernah minta untuk terlahir cacat." Langit seorang anak disabilitas yang tidak bisa berbicara, mem...