17 - Michelle Semanis Mochi

561 69 10
                                    

Pagi ini Langit berangkat telat ke sekolah. Ia juga belum sarapan. Ia bangun kesiangan karena semalam pulang malam dan ia tak kebagian kereta. Terlebih lagi ia menggunakan kendaraan umum ke sekolah jadi harus menunggu. Maka dari itu ketika sampai di sekolah ia telat, seperti pada sekolah umumnya kalau telat akan di hukum.

Langit berdiri di lapangan dengan kakinya yang masih sakit itu. Hanya saja Langit merasa aneh karena ada Michelle. Gadis itu sepertinya memang sengaja datang terlambat ketika ia bilang belum sampai di sekolah. Ia kaget ketika turun dari bis, ada Michelle yang masih duduk di halte. Sedangkan gadis itu malah asyik melambai bukan masuk ke sekolah. Ia saja panik takut terlambat.

"Seneng banget bisa dihukum bareng Langit." Langit menggelengkan kepala mendengar itu. Memang orang gila. Bisa-bisanya berkata seperti itu. Mana ada orang dihukum seneng. Hanya gadis ini saja mungkin yang senang. Kalau boleh memilih Langit tak ingin dihukum.

Sudah lebih dari satu jam mereka dihukum berdiri di depan tiang bendera. Michelle seperti menikmati hukuman itu.

"Kenapa kamu nungguin aku?" tanya Langit menggunakan bahasa isyarat. Langit tak habis pikir dengan Michelle yang rela dihukum hanya untuk menunggunya.

"Biar bisa bareng kamu."

"Aku telat ngapain ditungguin, kamu jadi dihukum." Langit sedikit khawatir.

"KAMU KHAWATIR YA SAMA AKU!!!" Michelle senang karena Langit mengkhawatirkannya. Biasanya Langit akan menyebutnya cewek bodoh, cerewet atau bawel. Namun sekarang berbeda. Langit lebih halus dan lembut padanya tidak seperti biasanya.

"Kamu udah mulai suka, kan sama aku?"

Langit yang mendengar perkataan Michelle langsung menepuk kepala Michelle. Hal itu membuat Michelle terdiam. Ia menatap Langit yang berdiri di hadapannya. Pria itu lebih tinggi darinya membuatnya harus mendongak.

Lalu tangan Langit menyentil dahi Michelle. Di bawah sinar mentari hari itu Michelle terlihat cantik di matanya.

"Aw..." Michelle kesakitan.

"Ih, main sentil aja." Michelle memegang jidatnya yang disentil oleh Langit. Terasa begitu menyakitkan. Pria ini memang menyebalkan. Tidak tahu kah kalau tenaganya itu besar.

"Sakit tau awas aja kalau aku gagar otak itu salah kamu."

"Jangan mikir aneh-aneh." Langit mengatakan itu dengan bahasa isyarat.

"Tadi aku nunggu kamu karena aku khawatir kamu gak berangkat. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu kayak kemarin."

"Kamu mau tau aku sakit apa?"

"Sakit apa? Jangan nyimpen semuanya sendirian Langit. Kalau aku tau kamu sakit apa, aku bisa lbih peduli dan perhatian sama kamu."

"Aku kritis."

"Maksud kamu?"

"Aku bunuh diri di pantai." Michelle menutup mulutnya tak percaya. Ia terkejut mendengar hal itu. Bagaimana bisa Langit bunuh diri. Seberat itukah hidup Langit. Apa ini karena keluarganya? Ia pernah membaca di buku diary perihal keluarga Langit yang membenci cowok itu. Apa sangat menyakitkan hingga Langit memutuskan untuk mati.

"Aku tau Langit hidup kamu berat. Meskipun keluarga kamu kurang baik menerima kamu. Aku akin pasti mereka kalau tau kamu dah gak ada mereka akan sedih."

Mendengar itu membuat Langit sedih. Michelle salah, andai Michelle tahu bahwa sang ayah ketika tahu ia hidup, ayahnya malah mengharapkan kematiannya.

"Gak semua keluarga sama."

Langit juga anak ayah | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang