Ibaratnya, Jeha memang penulis, tapi sepertinya Jane tidak suka membaca.
Alhasil, seindah apapun tulisan yang cowok itu rangkai, Jane tidak akan pernah tahu. Seapik apapun ending yang Jeha buat di novelnya tentang Jane, cewek itu tidak akan peduli. Begitulah akhir hubungan yang tidak pernah dimulai itu. Kalau pada akhirnya Jeha akan lanjut merampungkan novelnya, kira-kira begini kata-kata di akhir cerita.
"Dia memang abadi di tulisanku, tapi dunia menyuruhku untuk menghapus namanya dari hatiku."
Seharian ini, Jeha galau. Dia menolak Naka maupun Lucy untuk mengunjunginya. Pelukan semalam rupanya membuat Jeha makin malu bertemu dengan Lucy. Sebenarnya bukan masalah pelukannya, tapi masalah cerita yang dibagikannya pada Lucy hingga dia menangis macam abege yang baru saja diputuskan pacarnya.
Lucy tidak mempermasalahkan itu, tapi rupanya Jeha sangat mempermasalahkannya. Cowok itu mengurung diri di kamarnya seperti orang depresi—atau memang beneran depresi. Lucy yang baru saja mengecek Jiji dan Lili pun mengetok pintu Jeha siapa tahu Jeha mau dimasakkan sesuatu. Tapi bukannya mendapat jawaban, Lucy hanya mendengar alunan lagu galau dari dalam kamar Jeha. Lagu Korea itu membuat Lucy mendecak lantas undur diri dan lanjut merebahkan diri di sofa untuk menonton televisi.
Karena dia tergiur dengan tontonan Jeha, akhirnya dia mencoba nonton Bridgerton. Tapi bukannya suka, Lucy langsung menutup series tersebut saat menyadari alurnya cukup berat bagi otaknya yang suka kisah-kisah seringan kapas.
"Ck, Jeha seleranya aneh njir. Ngapain sih dia ndekem di kamar gitu? Malu karena abis nangis apa gimana?" gumam Lucy sambil mengganti tontonan menjadi animasi Studio Ghibli. Pilihannya jatuh pada My Neighbor Totoro.
"Hah, siapa yang abis nangis?" itu suara Naka.
Rupanya kalimat Jeha yang bilang tidak membutuhkan Naka membuat Naka makin curiga. Cowok itu memutuskan datang ke rumah Jeha setelah selesai bekerja.
Lucy melihat kedatangan Naka. "Lah, dia kagak cerita ke lo?"
Naka menggeleng. "Emang apaan?"
"Kemarin banjir woy. Dia sampai megap-megap karena Jane beneran nutup harapan asmaranya."
Naka tersentak. "Kok lo tau?"
"Gimana nggak tahu orang dia bengong natap hujan sambil ngegalau lalu nangis kayak bocah."
Naka menghela napasnya. "Pantesan suaranya tadi agak bergetar rupanya patah hati. Bagus deh, habis ini biar dia sadar dan nggak mikirin Jane."
Lucy nyengir. "Dih, lo sebagai sahabat kok suka sahabatnya sakit hati."
Naka mendekat ke arah Lucy. "Masalahnya Jeha itu bodoh, Lucyyana. Nunggu Jane selama itu karena dia bodoh sama perasaannya. Kalau sejak awal dia tegas dia nggak bakal kayak gitu. Dia bisa dapatin yang lebih dari Jane asal lo tahu. Ck, Jane juga main ngilang dan bikin Jeha seedan itu."
"Tapi cinta tuh emang buta, Na. Lo sama Elin mungkin juga sama aja cuman kagak sadar, yang sadar biasanya tuh yang kayak gue ini, yang berada di antara kalian," timpal Lucy kalem.
Naka terkekeh kecil. "Bener. Emang sih Jane cantik, tapi cewek itu nyebelin. Kalaupun dia ninggalin Jeha, harusnya dia jelasin dengan detail lewat telepon apa gimana gitu. Tapi milih bungkam seakan Jeha yang salah karena nunggu dia yang udah bersuami, beranak pula."
"Kalau soal itu, kita nggak layak menghakimi hubungan mereka sih, Na. Menurut gue keduanya emang salah, tapi kita balikin aja ke mereka. Berharap aja Jeha abis ini kembali ke semula."
Naka bersedekap yakin. "Tenang aja pasti balik. Dulu putus sama pacar pertama dan kedua ya seperti ini. Gue udah khatam."
Lucy manggut-manggut. "Bagus deh kalau gitu. Oh, ya Elin nggak ikut?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Sequence [END]
Romance[Completed] Jeha bilang, Lucy tidak layak menjadi peran utama dalam kisah hidupnya. Namun, cowok introvert yang selalu menghabiskan waktunya untuk menulis itu akhirnya terpelintir oleh kalimatnya sendiri. Ini bukan kisah cinta bar-bar yang membara...