"Evelyn? Kamu tau dia?"
"Cuma tau namanya aja, muka nya enggak."
Setelah beranjak dari kursi taman, Jingga terus memikirkan pemain yang disebutkan oleh Rain, namanya susah, untuk itu baru beberapa menit dia sudah lupa. Namun entah dari mana datangnya, Evelyn berhasil mengingatkan Jingga nama pemain bola itu.
"Kok, bisa tau?" tanya Jingga kembali.
"Aa aku penggemar beratnya. Semua jersey yang dia punya pasti nomor punggung 17, sama kayak idolanya itu."
"Nomor punggung 17..."
Sepertinya sudah lama Jingga tak memikirkan soal itu, Laurens dan segala kepribadiannya yang dingin membuatnya terlupa—bahwa dia pernah memiliki momen singkat yang menyenangkan diwaktu liburannya. Sayangnya memori tentang itu perlahan memudar, yang ia ingat kini hanya warna biru dan nomor punggung 17.
Untuk itu saat sampai rumah, dia langsung melempar tas miliknya pada kasur kemudian membuka laci tempat dimana ia meletakkan kain kacamata pemberian si tujuh belas. Dari saat ia diberi hari itu, ia belum membuka lipatan kain tersebut. Begitu ia buka hari ini, ternyata di dalamnya terdapat sebuah inisial.
"K?"
Inisial itu membawa Jingga untuk membuka ponselnya untuk mencari tahu tentang pemain Manchester City, entah mengapa cerita Evelyn tadi siang langsung membuatnya memiliki pikiran tentang itu.
"Kevin De Bruyne..."
Bersamaan tentang profil nama, tanggal lahir, dan klub tempatnya sekarang, Jingga terus tertarik dengan jersey biru dari pemain tersebut. Dari situ sedikit demi sedikit memorinya kembali, jersey mereka sama, nomor punggung bahkan nama di atasnya pun sama.
Otaknya tak berhenti bekerja akhir-akhir ini, diluar jam pelajarannya pasti ada saja yang ia pikirkan. Belum selesai dengan Laurens, kini ia mendapat pikiran baru. Dalam sesi istirahat kali ini, ia memilih tempat yang paling sunyi di sekolah tersebut, yaitu perpustakaan.
Jingga memilih asal buku di rak, kemudian duduk pada kursi yang tersedia di dekat rak tersebut. Dibalik buku yang sedang pura-pura ia baca, terselip ponselnya dengan layar yang menunjukkan profil dari pemain City yang akhir-akhir ini terus mengganggu pikirannya.
Dia tengah memikirkan beberapa kemungkinan tentang—bagaimana bisa dunia terasa sangat sempit jika saja benar bahwa pemilik dari kain kacamata itu adalah kakak laki-laki dari Evelyn.
Hingga akhirnya ia harus menutup ponsel dan bukunya untuk pindah tempat duduk, tempatnya itu menjadi jalan sinar mentari masuk ke dalam ruangan tersebut. Jika dirasa, lama-kelamaan tangannya panas. Namun begitu bangun dari duduknya, ia baru sadar ada seorang laki-laki di sampingnya—dengan begitu sinar mentari tersebut dengan cepat berpindah padanya.
Laki-laki itu mendongak, melihat Jingga yang sudah berdiri. Dengan begitu kedua netra mereka bertemu. Kemudian seperkian detik Jingga tersadar—bahwa netra itu sangat mirip dengan si nomor punggung 17 saat terkena sinar matahari.
Jingga mematung sesaat, sekelebat bayangan tentang kaki kaki yang berlarian di atas pasir, gemuruh ombak, angin yang sejuk, matahari yang akan tenggelam, mulai bermunculan. Dia mengingat suara dibalik wajah datar dari seseorang yang membuat bajunya kotor hari itu. Sama persis dengan seseorang yang tengah berada dihadapannya sekarang.
"Permisi..." suara itu berbisik, setelah itu Jingga pergi dari sana.
Sementara laki-laki itu terus memperhatikan punggung Jingga sampai menghilang. "Kenapa dia liatin transfer market?"
Jingga berjalan semi berlari, dia menjauh dari perpustakaan tersebut berdiri dibalik tiang sambil terus mengatur napas dan jantungnya yang beregup kencang. Tujuan dia sekarang adalah bertemu Evelyn, tapi tak mungkin jika dalam keadaannya yang tengah salah tingkah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bulan Juni
Lãng mạnPada minggu sore di tepi pantai, pada akhir dari bulan Juni, aku tidak bisa mendeskripsikan perasaan yang terjadi. Netra coklat yang terkena bias mentari berwarna jingga, membuatnya sangat indah, meski aku tak mengenalnya. Tapi semenjak itu, aku ter...