32. Hal Dramatis

16 3 4
                                    

"Mama kemarin kenapa kayak gitu?"

Sambil terus meusuk potongan buah alpukat, Jingga yang duduk di kasur memperhatikan mama yang tengah sibuk mengganti gorden kamar. Di atas kursi plastik, mama masih harus jinjit karena tinggi badannya tak mencapai tinggi tiang gorden.

"Ya—kenapa emang? Mama sedih, kangen papa, terus kamu sakit." Mama menjawab sampai manyun-manyun, belum lagi kaki yang terus jinjit sebab tak sampai.

Mengingat hari kemarin, di mana Jingga harus tetap berada di rumah sakit untuk hari itu sebab kondisinya belum sepenuhnya pulih. Saat Keenan kembali berkunjung sepulang sekolah, ada satu panggilan masuk dari papa untuk mama, Jingga tahu sebab ponsel mama berada di sampingnya. Dengan cepat mama mengambil ponsel tersebut lalu keluar ruangan.

Cukup lama mama meninggalkan ruangan Jingga untuk menelpon, hingga Keenan pergi menyusulnya untuk berpamitan. Namun tak lama laki-laki itu kembali dengan langkah yang cepat, ditambah wajah khawatirnya.

"Mama nangis," ujarnya setelah sampai di samping bangsal.

"Ahh.. itu mah paling—"

"Jawab jujur Ji, kenapa kamu belum bisa pulang hari ini?" air wajah Keenan semakin terlihat khawatir.

"Sebab aku belum pulih sepenuhnya a, tadi malem juga aku demam."

Keenan terus menempelkan tangannya pada jidat gadis itu. "Udah gak panas... tapi beneran gak ada gejala apa-apa lagi?" yang ditanya menggeleng.

Setelahnya Keenan bernapas lega. "Terus mama nangis kenapa?"

"Paling kangen papa itu mah."

Selesai dengan Keenan, di hari berikutnya Jingga pikir dia tak perlu menjelaskan panjang lebar lagi pada siapapun. Tapi mama kembali menangis, kini di samping bangsal, tak lupa menggenggam tangannya, sedangkan satu lagi memegang ponsel, lagi-lagi sedang telponan sama papa. Jujur, Jingga tidak tahu mama bisa sangat dramatis seperti ini, meski begitu hatinya sedikit terenyuh saat air mata berlomba-lomba terjun dari mata mama.

Lalu pintu terbuka lebar, dari sana muncul beberapa orang teman kelasnya. Di barisan paling depan ada Elsa, dia langsung melihat mama yang menangis tersedu-sedu. Jingga dapat menebak pikiran setiap orang itu, pasti tidak beda jauh dengan Keenan. Untuk itu, sebelum kembali menjelaskan apa yang terjadi, dia menarik napas dalam-dalam.

Jingga hanya bisa menggeleng jika mengingat hal tersebut, tak lupa meminta maaf pada Keenan dan teman-temannya karena sudah membuat khawatir. Tapi kemudian ia berpikir, mungkin ini dampak dari mama berhenti mengekori papa kemana-mana saat bekerja, rasa rindu yang begitu berat.

Sekarang mungkin sudah tak ada yang dikhawatirkan, dirinya sudah pulang ke rumah, dan papa dalam perjalanan pulang ke Bandung. Karena itu sedari pagi senyum terus terlukis di bibir mama, meski kegiatan yang sedang ia lakukan adalah mengganti gorden.

-

"Kamu udah beneran sembuh?"

Setelah menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Jingga, kalimat tanya itu menjadi kalimat pertama dari Laurens untuk teman sebangkunya. Begitu Jingga datang tadi pagi, setiap orang menanyakan keadaannya, dia ingin turut serta, tapi dia memilih menunggu momen yang pas.

"Udah kok, makasih ya udah jenguk." Jawab gadis itu dengan senyum lebar.

Sebenarnya Laurens belum meminta maaf pada Jingga saat dia menjenguknya, sebab waktu itu mereka heboh karena mama Jingga yang menangis. Jika memikirkan kesempatan lagi, sekarang adalah waktu yang tepat, permintaan maaf yang belum disampaikan terus mengganjal.

Laurens berbalik untuk membuka ransel dibelakangnya, lalu tangannya merogoh mengambil sesuatu.

"Aku liat, kayaknya kamu suka alpukat. Ini buat kamu." Ia menyodorkan satu kotak alpukat yang sudah dipotong-potong.

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang