22. Kebetulan Paling Indah?

20 5 0
                                    

Dalam tidurnya yang terasa sangat singkat, Jingga terbangun seperti zombie—dalam beberapa detik pikirannya begitu kosong, dia tak mengingat apapun sebelum ia memejamkan mata tadi malam. Dia masih melamun menatap ujung kaki yang tertutup selimut, ketika bergerak, ia merasakan lututnya sangat linu. Apa penyebabnya?

Sebelum semua ingatannya kembali, dan memikirkan apa yang terjadi kemarin sehingga kakinya begitu pegal, mama datang kemudian langsung berjalan ke arah jendela untuk membuka gorden.

“Kamu semalem langsung tidur aja, segala jaket sama sepatu belum dilepas.” Ucap mama setelah gorden terbuka.

Jingga menyipit karena silau. “Kaki aku sakit.”

“Kok bisa? Pegel?” pertanyaan mama mendapat anggukan.

“Mau izin, sekolahnya?”

Begitu ia menatap wajah mama, ingatan tentang hari kemarin mulai bermunculan, kesadarannya sudah terkumpul 80%. Penyebab kakinya begitu sakit pagi ini, dan pada saat kesadarannya sudah penuh—ternyata bukan hanya kaki yang merasakan sakit. Sepertinya opsi untuk izin tidak masuk sekolah hari ini sangat baik bagi kaki dan hati nya.

“Gimana? Mau sekolah gak? Udah siang ini.” Mama sudah bertolak pinggang di samping kasur anak gadisnya itu.

“Mau…”

Padahal mama sendiri yang memberi usulan untuk izin, tapi seketika nyali Jingga menciut saat mama menggunakan nada awal untuk mengomel.

Jingga bangkit untuk bersiap, dalam langkah yang ia ambil harus sedikit hati-hati, setiap kakinya menginjak lantai dengan posisi tegap, rasa sakit itu semakin menjadi. Alhasil dia berjalan dengan pincang.

Ia akan berangkat dengan papa hari ini, namun ada yang sedikit aneh menurutnya. Saat dirinya dan papa sudah sangat rapih, mama masih mengenakan baju tidur, tidak seperti biasanya. Biasanya, jika ada waktu untuk membangunkan Jingga, mama sudah siap dengan baju rapih dan begitu wangi. Tapi tidak pagi ini, mama masih mengenakan baju tidur Keroppi dan handuk kecil di pundaknya.

Lalu mama mendekat dengan membawa sesuatu pada Jingga. “Biar gak pegel.”

“Panas dong?” ternyata mama menempelkan koyo di lutut Jingga.

“Daripada pegel.” Gadis itu lagi-lagi tak bisa membantah saat kedua lututnya dibalut empat koyo sekaligus, masing-masing kaki ditempel dua koyo.

“Emang abis ngapain? Kok bisa pegel?” tanya papa.

“Gak tau, jompo banget jadi anak.” Mama selesai dengan koyo tersebut. “Makanya kalo libur tuh sesekali olahraga.”

Rahang Jingga seketika terjatuh, sejak kapan mama jadi bawel, penuh perhatian, dan gak mikirin kerjaan di pagi hari?

Hingga ia kini sudah berada dalam perjalanan dengan playlist musik papa yang sangat tergila-gila dengan Dewa 19. Jingga terus memandangi lutut dengan koyo yang berwarna hampir sama dengan kulitnya, sampai suara papa yang terus menerus bernyanyi tidak terdengar.

Saat ia merasa sedih karena kedua orangtuanya, hal yang membuat dia lupa akan hal itu adalah Keenan. Namun seperti tak diberi kesempatan untuk bersedih lama-lama, begitu Keenan membuatnya frustasi, mama dan papa membuatnya lupa akan hal itu.
Senyum keluar dari bibirnya tanpa sadar, ia menengok ke arah jendela untuk melihat pemandangan di luar, dengan begitu suara papa kembali terdengar olehnya.

Bangunan sekolah sudah terlihat, tangan Jingga bergerak untuk mengganti lagu yang tengah diputar.

“Dengerin ya pa, kalo gak ngerti maksud dari lagunya, google aja.” Gadis itu membawa tangan papa untuk memberi salam, kemudian keluar.

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang