10. Keychain

16 5 0
                                    

Pagi itu, Jingga berangkat menggunakan ojek. Sejak bangun tidur, tidak ada siapa-siapa di rumahnya, sampai ia menemukan secarik kertas yang memberi tahu bahwa kedua orang tuanya berangkat lebih awal. Gadis itu sudah tak ingin ambil pusing, dia tetap melanjutkan hari-harinya seperti biasa.

Begitu turun dari motor, Jingga reflek mengambil tangan mamang ojek untuk memberi salam. Seketika si mamang merasa dirinya sudah mempunyai seorang anak gadis.

Jika dilihat dari banyak nya orang di sekolah, terlalu pagi sebenarnya, hanya ada beberapa orang siswa yang sudah berada di lingkungan tersebut. Jingga menebak, bahwa di kelas nya belum ada siapa-siapa, namun tebakan itu meleset, pintu kelasnya terbuka.

“Rain?” panggil Jingga.

Ia yang memakai tas hitam, menoleh. “Iya?”

“Pagi banget?”

“Aku, tiap hari berangkat jam segini.”

Gadis itu mengacungkan jempolnya, “Bagus, rajin…”

Rain hanya mengangguk, memang wajar pagi-pagi seperti itu kelakuan orang-orang sedikit aneh, bisa saja mereka masih mengantuk.

“Eh tunggu!”

Baru saja Rain berbalik untuk berjalan menuju kursinya, Jingga kembali menahan. Sekarang gadis itu berada di hadapannya, terlihat ingin menanyakan sesuatu, namun ragu.

“Kenapa?” tanya nya.

“Keychain kamu, bagus, beli di mana?”

“Online shop, banyak.”

“Ah…” gelagat gadis itu masih sama, ingin bertanya tapi ragu. “Berhubung di online shop banyak, boleh gak, aku beli punya kamu?”

“Kenapa?”

“Aku butuh itu hari ini, eh enggak—sekarang. Kalau beli di online shop, harus nunggu. Boleh, ya?”

Perkiraanya memang tidak pernah meleset, ada saja kelakuan random orang di pagi hari. Tanpa mengatakan apapun, Rain mencopot gantungan yang menggantung di resleting tas nya, kemudian memberikan itu pada Jingga.

“Berapa harganya?”

“Ambil, aja.”

“No! Jangan gitu, kan aku mau beli, buka minta.”

“Lima ribu.”

Jingga merogoh saku seragamnya, dari sana keluar uang pecahan berwarna ungu, lalu diberikan pada Rain.

“Sama ongkir!”

Gadis itu pergi meninggalkan kelas dengan berjingkrak, tentu saja Rain merasa heran, masih sangat pagi untuk berenergi. Dan sebuah gantungan yang Jingga beli adalah gantungan dari Manchester City, dengan ukuran yang tak terlalu besar.

Gantungan itu, akan ia berikan pada penggemar berat dari klub Inggris tersebut, ia akan menemuinya nanti siang, di perpustakaan. Jingga sangat tidak sabar menuju waktu itu, dia sudah sangat menanti meski waktu belum menunjukkan pukul tujuh.

“Uh—City…”

“Kambing!” Suara Laurens yang entah datang dari mana membuat Jingga terkejut.

“Hehe… sorry.” Ia tersengeh, “Bukanya, kamu penggemar Madrid, ya?”

Jingga menggeleng cepat, “Kamu gak inget? Aku pernah bilang, kan?”

“Ahh… yang waktu itu, sambil jingkrak-jingkrak?”

“Iya.”

Hening diantara mereka, Jingga asik mengusap detail dari gantungan tersebut. Laurens menatapnya bergantian, Jingga dan gantungannya. Hari itu entah ke berapa kali ia merasa aneh dengan gadis di sampingnya, kemarin menatap kesal, hari ini senyum-senyum sendiri sambil memegang gantungan.

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang