16. Manchester City

11 4 0
                                    

Memasuki bulan September, meski seharusnya di bulan tersebut masih menjadi musim kemarau, namun sore itu hujan turun cukup deras. Hal tersebut membuat dua buah wiper bekerja ekstra setelah berbulan-bulan tidak dipakai.

Dalam keheningan perjalanan pulang, wiper yang sedang sibuk ke sana kemari itu menjadi objek yang dipandang Laurens, sebelum akhirnya ia memilih untuk menopang dagu kemudian melihat ke luar jendela.

Sesuatu berwarna kuning menjadi sangat mencolok di matanya tatkala semua pemandangan mengabu karena hujan yang turun. Berjalan di bawah payung yang sama, sesekali bercanda dengan cipratan air, tawa mereka secerah warna kuning.

Sedangkan dia berlalu, tak peduli sampai kepala memutar ke belakang, laju mobil tak memberinya kesempatan untuk melihat kebahagiaan itu lebih lama. Kebahagiaan yang sebelumnya dia sendiri pernah rasakan, meski memori tersebut sudah usang dan banyak bagian yang hilang. Setidaknya dia dapat mengingat beberapa, seperti saat pertama kali bertemu.

Duduk di tepi lapang dengan jaring penghalang, terdengar banyak decitan dari sepatu yang bergesekan dengan lantai lapang tersebut. Suasana di sana memanas saat waktu terus berpacu, sementara kubu yang tertinggal harus mencetak gol di waktu tersisa. Di sebrang sana penonton sudah dengan emosinya, begitu pun para pemain yang berada di lapang, banyak kontak fisik yang terjadi sehingga memicu banyak keributan.

Laurens mendengus, melihat waktu yang terus berjalan sementara skor klub yang ia dukung masih nol, tapi mereka sibuk beradu emosi. Hingga akhirnya ia juga turut menelan pahitnya kekalahan.

Hari itu, hari minggu, di mana pertama kali Laurens datang untuk melihat pertandingan futsal pria di klub yang ia tempati. Banyak rumor yang menyebutkan bahwa klub tersebut akan segera bubar, namun ia tak mengerti, jika benar akan bubar mengapa mereka merekrut tim perempuan untuk turut serta? Sampai akhirnya ia paham mengapa banyak orang yang mengatakan hal tersebut setelah ia melihat pertandingan hari ini.

Berjalan pulang setelah sedikit berbincang dengan manajemen dan tim klub tersebut, Laurens berjalan sendirian menuju depan untuk menunggu sang ayah menjemput. Dengan langkah kecil, mata nya terus beredar mengamati setiap sudut ruangan tersebut, terdapat papan nama ruangan di atas pintu, dia membacanya satu persatu.

Hingga ia sampai di depan satu ruangan bernama ‘loker room’, terdengar isak tangis dari dalam. Seketika bulu kuduk berdiri, Laurens melihat jam tangan yang melingkar, waktu baru menunjukkan pukul empat sore, makhluk tersebut sudah berkeliaran? Pikirnya.

Rasa penasaran mengalahkan rasa takut, itu yang tengah ia rasakan, meski dengan ragu, dia melangkah sedikit demi sedikit untuk membuka pintu ruangan tersebut.
Dia berhasil memegang gagang pintu, membukanya perlahan nyaris tak bersuara. Semakin lebar pintu tersebut terbuka, tidak ada apa-apa di dalam, namun kaki itu terus melangkah masuk. Tak membiarkan pintu tertutup, dia mengganjal pintu dengan mencopot sepatunya.

Gadis itu celingukan, suara itu semakin mengecil, seketika ia mengingat mitos, jika mendengar suara seperti itu semakin mengecil, tandanya makhluk halus tersebut berada dekat dengannya. Laurens semakin was-was karena pemikirannya sendiri.

Brak!

“AAAKK!”

Gadis itu terus menutup wajah dengan kedua tangannya, jantungnya berpacu cepat, kaki nya bergetar. Seketika ia menyesal telah percaya dengan rasa penasaran. Namun ia tak bisa berdiam diri di sana terlalu lama, takut ada yang lebih parah dari suara pintu yang ditutup barusan.Laurens menurunkan kedua tangan yang menutupi wajahnya, mata itu masih tertutup, kemudian dibuka perlahan.

“AAA! Maaf, aku cuma penasaran kenapa kamu nangis, jangan makan aku!!” ia terkejut sampai tubuhnya limbung di atas lantai, mata nya kembali tertutup setelah melihat sesuatu di depan matanya berdiri tegap.

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang