Cahaya dari luar menerobos masuk melalui jendela, dalam ruang gelap hanya terdengar detik jam dinding di pukul dua dini hari. Sesuai dugaan, Jingga tidak bisa tidur malam itu, di sampingnya Elsa sudah terlelap dari beberapa jam yang lalu saat sang ibu memberi tahu mereka harus bangun pukul tiga. Tinggal menunggu satu jam lagi, Jingga memilih membuka ponsel lalu menyumbat telinganya menggunakan earphone, dalam ruangan gelap tersebut wajahnya terlihat begitu terang dibandingkan cahaya yang masuk melalui jendela.
Namun tak lama gadis itu menyimpan kembali ponselnya, tidak ada yang menarik di dalam sana pada pukul dua dini hari. Musik yang diputar terus terdengar membawa pikirannya melayang, apa yang Keenan lakukan saat petir bersahutan kemarin? Jingga meninggalkan perpustakaan sebelum itu, apakah Keenan tidak datang? Jingga tidak tahu.
Dia juga tidak tahu, jatuh cinta pada seseorang akan membuatnya gila jika sehari saja tidak bertemu atau melihatnya. Jika sudah seperti itu, bayangan tentang Keenan akan otomatis terputar bagaikan film dipikiran Jingga. Segalanya masih utuh dan hampir tidak ada yang hilang, dari sana mulai muncul ide untuk menulis setiap peristiwa yang terjadi dari saat pertama mereka bertemu sampai sekarang.
Lamunan itu terhenti, dari luar terdengar bunyi saklar yang dipencet lalu disusul dengan cahaya lain yang muncul, sepertinya mama Elsa sudah bangun. Jingga mengecek ponselnya, di sana menunjukkan pukul dua tiga puluh, melamun segala hal tentang Keenan memang sering tidak terasa, tahu-tahu tiga puluh menit terlewati.
"Udah bangun, Ji?" tanya mama Elsa setelah menengok sekilas, kemudian fokusnya kembali pada kompor dengan panci di atasnya. Beliau perlu kopi untuk menghalau rasa kantuk pagi itu, jadi sebelum memulai, memasak air menjadi kegiatan pertama.
"Gak tidur tante." Jawab Jingga, ia mengambil gelas yang menggantung pad arak.
"Kenapa?"
"Gak bisa tidur, takut kesiangan."
"Ya dibangunin sama tante atuh, nanti di sekolah ngantuk kalo gak tidur sama sekali."
"Gak apa-apa tante, kalo tidur sekarang malah gak bantu sama sekali."
Percakapan dengan mama Elsa harus terhenti, ponsel di kantong celananya berdering. Dalam layar muncul nama Kalandra memanggil, tentu saja hal tersebut membuat dahi Jingga mengkerut. Lagi-lagi kata 'tumben' yang muncul dibenak.
"Halo?"
"Ini rumah Elsa yang mana?"
Ternyata laki-laki itu menuruti apa kata Jingga kemarin sore, datang untuk membantu membuat tumpeng atau membuat kerusuhan—yang pasti gadis itu harus keluar untuk menjemputnya.
Setelah sampai teras depan, langsung terlihat Kalandra dengan sepedahnya dan tas selempang yang berada di tangan kiri. Jingga memanggil dengan suara sedang.
"Aku telpon Elsa gak diangkat." Ujar Kalandra sembari mendekat kemudian menurunkan standar sepedanya.
"Dia belum bangun."
Laki-laki itu berdecak, "Gimana sih."
Keduanya memasuki rumah Elsa, sementara si tuan rumah masih bergelut dengan selimut dan gulingnya. Sampai sang ibu datang untuk menarik paksa selimut tersebut, akhirnya ia terbangun dan berjalan keluar dengan setengah nyawa, setengahnya lagi masih berada di atas kasur.
Waktu berjalan menuju pagi hari, setelah Kalandra, beberapa menit kemudian Evelyn dan Annais datang untuk membantu, rumah Elsa menjadi sangat sibuk pagi itu.
"Eh, kelas kita pake baju adat apa buat fashion show?" tanya Elsa ditengah hikmatnya membuat berbagai hiasan dari tomat, timun, wortel, dan banyak lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bulan Juni
RomancePada minggu sore di tepi pantai, pada akhir dari bulan Juni, aku tidak bisa mendeskripsikan perasaan yang terjadi. Netra coklat yang terkena bias mentari berwarna jingga, membuatnya sangat indah, meski aku tak mengenalnya. Tapi semenjak itu, aku ter...