28. Perahu Kertas

15 4 1
                                    

Melewati hari minggu yang penuh istirahat, hari senin menyambut hangat. Hawa dingin menjadi sedikit normal setelah dua hari tak turun hujan. Sebelum bersiap untuk berangkat sekolah, Evelyn ingin mengetahui keadaan kakak laki-lakinya. Dia di hari minggu kemarin hanya keluar kamar untuk makan, entah apa yang dilakukannya seharian.

Dengan mata yang masih sedikit berat untuk terbuka, gadis itu mengucek mata, lalu berjalan menuju kamar Keenan. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu perlahan.

Begitu pintu terbuka, mata yang berat menjadi ringan seketika, Evelyn terus memasuki kamar Keenan kemudian mencari dimana letak jam. Waktu menunjukkan pukul 6.15 tapi Keenan sudah sangat rapih dan wangi, laki-laki itu tengah menatap dirinya dalam cermin sembari menyisir.

“Gak salah, a?” tanya Evelyn.

“Apanya yang salah?” Keenan masih sibuk dengan rambutnya.

“Aku belum apa-apa, aa udah rapih. Nanti lecek lagi nunggu aku siap-siap.”

“Emang siapa yang mau nunggu kamu?”
Keenan melewati Evelyn untuk mengambil tas gendong hitamnya.

“Terus?”

“Aa abis sarapan mau langsung berangkat.”

“Pak Tisna bulak-balik gitu?”

“Enggak, aa mau bawa motor.”

Rahang milik Evelyn terjatuh, dia sudah ditinggalkan sendiri di kamar itu. Mengambil rambut untuk dikibaskan ke belakang, ia kemudian bertolak pinggang. Ternyata ini efek dari seseorang yang sedang jatuh cinta.

Sementara Keenan terus melanjutkan langkahnya menuruni tangga, menyambut mama dengan ramah di pagi hari. Mama yang heran hanya bisa melongo sambil terus menyimpan makanan yang baru selesai di masak di atas meja.

“Mana Eve?” tanya Mama.

“Baru bangun.”

Keenan terus mengambil piring, menyendok nasi dan lauk yang masih panas dan berasap. Sebelumnya dia sudah izin pada mama dan papa soal hari ini dia akan membawa motor, dia juga memberi tahu alasan mengapa ingin membawa motor.

Pada minggu malam pukul sembilan, Keenan turun untuk menemui kedua orang tuanya yang masih berduaan menonton tv. Dalam perjalanan, dia berkali-kali menarik napas dan meyakinkan diri bahwa dia akan mendapat izin atas apa yang diinginkan.

“Belum tidur, a?” tanya mama begitu melihat anak sulungnya datang.

Keenan menggeleng. “Pa, ma, aku besok mau bawa motor ke sekolah, boleh gak?” ia langsung pada intinya.

“Enggak, bahaya.” Mama menolak mentah-mentah.

“Aa udah gede ma,” Keenan menjulurkan kedua tangannya untuk memberitahu bahwa dia bukan anak kecil lagi, dia sudah besar.

“Bahaya gak liat kamu udah gede atau masih kecil.”

Keenan menghela napas pelan, mama bahkan tidak bertanya alasan mengapa ia ingin membawa motor, langsung saja melarang.

“Kenapa tiba-tiba mau bawa motor? Mau pacaran ya?”

“Kok papa tau?”

“Emangnya papa gak pernah SMA.”

“Nah! Papa tau kan rasanya? Jadi, boleh kan?”

Terlihat tatapan sinis dari mama ke papa, sementara Keenan tersenyum dengan mengigit bibir bawahnya menunggu kepastian. Dan tak lama ia mendapat acungan jempol dari papa, berjingkrak-jingkrak lah dia.

Mengingat hal tersebut kembali membuat senyum terlukis di bibirnya, mama hanya bisa menggeleng melihat itu. Tumis brokoli dengan telur ceplok sebagai pendamping nasi, Keenan melahapnya sampai habis. Lagi-lagi sebuah pemandangan baru bagi mama, selain tiba-tiba menyapa dan tersenyum di pagi hari.

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang