14. Intrusive Thoughts

19 6 0
                                    

Pagi pagi sekali Jingga berjalan keluar rumah sudah lengkap dengan seragam sekolah, bukan karena dia bersemangat untuk sekolah. Untuk pertama kalinya, hari ini, di mana ia tidak suka berangkat sekolah seteleh mengenal seseorang yang membuat hidupnya sedikit berwarna. Dia hanya ingin berjalan kaki dengan berleha-leha, memikirkan tindakan bodoh kemarin sore.

Keenan dengan kacamata memiliki perbedaan dengan tanpa kacamata, menurut Jingga. Seringkali dia merasa bahwa saat Keenan tidak mengenakan kacamata, laki-laki itu tidak mengenalnya. Apakah sangat berpengaruh? Jingga tidak tahu penglihatan seseorang yang bergantung pada kacamata seperti apa, yang ia tahu, mereka tidak bisa membaca huruf atau angka di sebuah buku. Lagi pula, Keenan biasa menggunakan itu saat membaca saja.

Dalam setiap langkahnya kepala itu dipenuhi pria berkacamata yang memiliki aroma campuran buah dan bunga segar, ia terus berputar di sana tanpa tahu jalan keluar. Jingga sudah berusaha mengeluarkannya dengan menelengkan kepala, barang kali bisa keluar sendiri, tapi tidak berhasil. Alhasil dia kesal sendiri, berjalan tiga langkah dengan hentakan kuat pada aspal, kemudian berjalan normal kembali.

-

Di depan cermin yang berukuran tidak terlalu besar, Keenan menatap pantulan dirinya yang sudah berseragam rapih. Dia terdiam cukup lama dengan rambut yang masih agak basah dan acak-acakan, tangannya menggenggam sebuah sisir.

Sekolah tidak menetapkan aturan berpakaian dengan memasukkan baju ke dalam celana, mengenakan dasi setiap hari, dengan rambut harus mengenakan pomade, kecuali hari senin.

Namun selama hampir dua tahun Keenan bersekolah di sana, dia memakai style teladan tersebut. Tak jarang ia ditertawakan, namun, rasanya lebih baik daripada setiap hari dikerumuni dan dipuji-puji.

“Jangan biarin keadaan bikin aa beda dari karakter sebenernya, menjauh dan mencoba tertutup gak akan bisa ngecover itu semua. Aa punya semua daya tarik itu, dan itu gak bisa disembunyiin.”

Baru pertama kali ia mendapat kalimat yang mampu mengatasi ketakutannya terhadap diri sendiri, alih-alih pertanyaan tentang mengapa penampilannya begitu jelek?

Tangan Keenan terangkat untuk menyisir rambut yang berantakan itu, ia membawa rambut yang menghalangi jidatnya ke belakang. Dibiarkan tidak terlalu klimis dan rapih. Menyemprotkan parfum dengan botol kaca berwarna hitam dengan aroma lebih maskulin. Mencopot dasi, mengeluarkan baju seragam dari celana, kemudian menyambar jaket hitam yang tergeletak di atas kasur dan pergi.

Di dalam mobil Evelyn sudah kesal, kakak laki-laki nya tidak kunjung datang, waktu sudah semakin siang saat ia melihat jam pada layar ponsel. Gadis itu menekan nomor milik Keenan untuk memanggil, namun baru saja tersambung, dia sudah datang dan membuka pintu mobil.

Dari ujung kaki hingga kepala, Evelyn sampai dibuat bergeming, sudah sangat lama ia tidak melihat Keenan yang keren seperti itu. Aroma parfum yang langsung menyeruak di dalam mobil itu juga berbeda, sebelumnya Keenan selalu meminta parfum miliknya.

“Ekhem… kayaknya lagi jatuh cinta.” Berpura-pura batuk untuk akhirnya meledek Keenan, Evelyn mengedarkan pandangannya pada jendela luar.

Keenan tidak peduli, dia memilih melihat pemandangan yang terlewati di sebelah kirinya. Keputusan yang tiba-tiba itu sedikit membuatnya agak ragu, pikirannya melayang, dan banyak pertanyaan diawali dengan bagaimana jika? Tapi ia mencoba menepis itu, dia harus siap jika misal—pandangan orang-orang terhadapnya hari ini, berbeda.

“A, tunggu atuh!” langkah Keenan terhenti, ia berbalik untuk menunggu adiknya yang baru turun dari mobil.

Dari kejauhan Kalandra dan Rain mengamati, dan kini Rain tidak mengerti kenapa temannya itu tersenyum. Tidak mungkin Kalandra menyukai Keenan, kan? Dia terus bergidig sendiri membayangkannya.

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang