Dalam setiap langkah yang diambil bak tak mengenal rasa takut, meski terhalang oleh atap bangunan sekolah, kilat dan petir terus bergantian membuat langit menjadi begitu terang serta diikuti suara gemuruh. Samar terdengar suara jeritan dari setiap kelas saat petir menyambar, namun langkahnya belum berhenti sampai akhirnya kilatan yang begitu terang menghentikannya.
Jantungnya berdetak begitu cepat, Keenan seperti baru saja ditegur oleh Tuhan karena angkuh. Begitu gemuruh terdengar begitu menggelegar, ia memejamkan mata. Ia mengadah, terlihat kedua tangannya bergetar serta napas tak beraturan. Dia sendiri tidak mengerti, petir siang itu seperti mewakili emosinya sekarang, marah dan meledak-ledak.
Percakapan antara Rain dan Laurens yang baru saja ia tinggalkan, kilat yang baru saja menyambar seakan menyadarkannya, mengapa ia harus marah mendengar percakapan dua bocah itu?
Dia masih berdiri di koridor, memikirkan beberapa kemungkinan mengapa dia begitu emosi. Setelah di pikir kembali memang wajar dia merasa emosi, waktu membacanya terganggu karena mereka berdua berisik di perpustakaan. Untuk sementara, Keenan menganggap hal tersebut lah yang membuatnya marah, untuk hal lain—akan ia pikirkan malam nanti.
Kini ia melangkah lebih ringan menuju kelas, sesekali menghela napas, pikiran lain itu mulai mendobrak seakan meminta untuk segera diselesaikan saat itu juga. Keenan menggelengkan kepalanya, tidak sekarang!
“Dari mana?” tanya Ridho begitu ia duduk di sebelahnya.
“Perpus.” Jawabnya singkat.
Ridho seperti sudah hafal, ada kalanya Keenan selalu membenamkan wajahnya diantara kedua tangan di atas meja. Jika sudah seperti itu, sama sekali tidak bisa ditanya. Biasanya setelah beberapa menit berlalu, laki-laki itu akan bangkit kemudian terduduk sesaat sebelum mulai berbicara.
Namun baru saja beberapa detik, kepalanya sudah terangkat, Ridho sedikit terkejut.“Kenapa—“ baru satu kata yang keluar, Ridho menebak anak itu sedang merangkai kata yang acak-acakan di otaknya.
“Kenapa pas dengerin cerita dua orang tentang satu cewek, aku ngerasa marah?” akhirnya kalimat itu lengkap.
Ridho tersenyum tipis, ia menyimpan ponsel dalam genggamannya. “Kamu mah percuma baca buku sampai mata minus, hal kayak gini aja gak tau.”
Keenan merengut, “Kamu mau ngasih tau atau ngeledek?”
“Dua-duanya!” Ridho tergelak sendiri. “Yang ngomongin cewek atau cowok?”
“Dua-duanya.” Jawab Keenan ketus.
“Cemburu, itu namanya cemburu.”
Dalam beberapa buku memang sering ia jumpai kata tersebut dan apa penyebabnya, namun saat hal tersebut terjadi pada dirinya, perasaan itu cenderung susah dikenali. Perpaduan antara marah, kesal, sedih, bercampur sama rata. Dan penyebabnya beragam pula, namun alasan yang paling kuat mengapa perasaan itu muncul adalah ketika seseorang jatuh cinta.
“Biasanya yang kutu buku paham betul soal beginian, kamu selama ini baca buku apa sih?” Ridho kembali bersuara.
“25 Kisah Nabi.”
“Masyaallah…”
Tidak salah bertanya pada Ridho, temannya itu tahu langsung saat ia bertanya. Jika saja ia bawa pikiran itu sampai rumah, kemudian bertanya-tanya sembari memetik senar gitar, mungkin saja sampai hari berikutnya ia tak akan pernah tahu perasaan apa itu.
Sementara awan gelap di luar sudah menghilang, siang itu berubah menjadi terik yang menyengat, hawa yang dihasilkan pun sangat tidak nyaman. Hujan yang tumpah menghasilkan banyak genangan dengan air berwarna coklat, alias banjir. Beberapa orang yang tinggal di Bandung muak dengan kalimat, Bandung estetik setelah hujan. Memang di beberapa tempat benar adanya, namun tidak keseluruhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bulan Juni
RomancePada minggu sore di tepi pantai, pada akhir dari bulan Juni, aku tidak bisa mendeskripsikan perasaan yang terjadi. Netra coklat yang terkena bias mentari berwarna jingga, membuatnya sangat indah, meski aku tak mengenalnya. Tapi semenjak itu, aku ter...