15. Jaket Kuning

18 6 0
                                    

Memasuki hari pertama dari keberanian kembali pada masa lalu, Keenan berjalan lurus menuju bangkunya tanpa menghiraukan tatapan heran dari teman sekelasnya. Sejauh ini, memang hanya ada Ridho dan Nurhidayat yang berada di list teman baik. Sisanya banyak yang tidak ingin mendekat, karena katanya, Keenan itu tidak seru, terlalu diam, dan terlalu rapih. Belum lagi, prestasi anak itu berada di level yang tidak terlalu baik tapi tidak terlalu buruk juga.

Kelas itu berisi delapan belas murid perempuan dan dua belas murid laki-laki, murid perempuan lebih banyak enam orang dari laki-laki. Dari enam orang tersebut dan sisanya, tidak ada satu pun yang pendiam, mereka begitu lincah dan ekspresif. Tak jarang kelas tersebut bisa menjadi sangat gaduh saat jam pelajaran dimulai, atau bahkan saat istirahat. Kalau kata Ridho, kelas kita ini isinya kaleng rombeng semua!

Baru saja berbelok untuk menuju bangku, Keenan ditahan oleh Raya, salah satu pentolan yang bikin kelas tersebut berisik. Jalan diantara bangku-bangku dihalangi oleh gadis itu bersama dua temannya, Indah dan Sabrina.

Raya mengacungkan dua jarinya di depan Keenan, “Ini berapa?” tanya nya.

“Dua.” Jawab Keenan dengan cepat, tanpa ekspresi.

“Loh? Keliatan?” Raya tak percaya dengan itu, dua jarinya berbalik untuk kemudian ia pandangi.

“Aku gak buta, minggir.”

“Eh tunggu,” Raya menahan tangan Keenan, namun dengan tidak sopan laki-laki itu menepis,
“kamu ganteng hari ini.”

Keenan tidak tahu itu sebuah pujian atau hanya rasa heran yang terungkap. Gadis di depannya sampai teleng, mengamati penampilannya pagi itu.

“Tapi, menurut aku dia emang ganteng, cuma penampilannya aja yang culun.” Ujar Sabrina sembari mengurut dagunya.

“Bener. Kenapa tiba-tiba berubah? Lagi jatuh cinta, kah?”

“Bukan urusan kamu.”

Laki-laki itu memilih jalan lain untuk dilewati dan meninggalkan mereka untuk duduk dibangkunya. Hari masih cukup pagi, bahkan embun di atas rumput belum mengering, hatinya sudah sangat jengkel. Tapi dia terus menguatkan diri, Raya dan teman-temannya hanya gangguan kecil, tidak ada apa-apanya.

Keenan tak tahu wajah rupawan warisan dari kedua orangtuanya itu keuntungan atau kutukan, lagi, dari buku yang pernah ia baca, tak sedikit memiliki alur cerita tentang seorang pria tampan yang digilai. Awalnya dia menikmati hal tersebut, menjadi tampan membuatnya banyak mendapat privilege, dalam segi apapun.

Tapi, dia menggeluti sebuah hobi yang banyak digilai para laki-laki, dan tak sedikit yang tidak suka jika hal tersebut dikaitkan dengan perempuan. Jago bermain bola adalah sebuah kelebihan, dan ketampanan yang dimiliki adalah bonus. Awalnya Keenan dikenal karena kemampuannya itu, tapi kebetulan dia memiliki wajah yang ganteng—karena hal tersebut, benih kebencian mulai muncul untuknya.

Banyak mulut yang mulai mengatakan bahwa dia hanya menang rupa, dan tidak memiliki skill apapun dalam mengolah bola. Kemudian hal tersebut mulai merembet, tentang bagaimana manajemen klub futsal yang menawarinya untuk ikut gabung, semata-mata untuk promosi, bukan menjadikannya pemain inti.

Sebelum berita miring itu mulai menyebar, Keenan mulai berlatih semakin keras, ia ingin membuktikan bahwa semua itu tidak benar. Dia ditawar untuk memasuki klub karena kemampuannya, bukan karena wajahnya. Hingga akhirnya disetiap pertandingan ia tak pernah absen dari starting line up, dia terus menjadi kepercayaan pelatih di posisi kanan. Untuk saat itu ia berhasil membungkam mulut yang menghinanya, dan semakin percaya diri.

Kemudian kepercayaan diri itu menarik banyak perhatian, setiap klub itu bertanding, tiket yang ada selalu habis terjual. Mereka yang awalnya bertanding tanpa sorak dari penonton, kini harus merasakan hal tersebut. Bangga rasanya, kini banyak yang mendukung klub, meraih banyak tropi dalam setiap pertandingan.

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang