Di sore hari yang mendung, keadaan sekitar sudah sangat gelap meski jam masih menunjukkan pukul 3. Setelah mendapat banyak evaluasi, Keenan mulai berpikir untuk memperbaiki kesalahannya dan berusaha lebih keras agar dapat diterima kembali. Setelah latihan selesai, ia tak bergegas pulang melainkan berlatih sendiri di tengah lapang.
Meletakkan beberapa cone dengan jarak sekitar tiga kaki dalam garis lurus, laki-laki itu mulai bergerak melewati cone tersebut. Setelah sampai pada cone terakhir, bola tersebut ditendang menuju gawang. Begitu seterusnya sampai beberapa menit berlalu dan langit yang semakin gelap tak dihiraukan olehnya.
Kegiatan tersebut sudah berlangsung sepuluh kali percobaan, dan kini ia tengah berjalan menuju sebelas kali. Namun begitu bola tersebut ditendang pada gawang, tiba-tiba saja gawang tersebut memiliki seorang kipper, alhasil tendangan ke sebelas nya tidak berhasil membobol gawang.
“Lagi! Masa segitu doang?” bola itu dikembalikan pada Keenan.
Ia tak menjawab, napasnya masih terengah-engah namun bola sudah menggelinding ke arahnya. Tapi kalimat gadis yang kini berdiri di bawah mistar itu membakar semangatnya, bola itu ditahan kemudian sedikit ditendang untuk mengambil ancang-ancang dan, bom! Gawang tersebut kembali dibobol olehnya.
Keenan melakukan selebrasi dengan sedikit berlari, mencium telunjuknya lalu diangkat ke udara menunjuk langit, setelah itu hujan turun.
“Nih, bawa bola nya kalo bisa.” Gadis bernomor punggung Sembilan itu menggiring bola melewati Keenan.
Merasa terpancing, laki-laki itu berbalik untuk merebut bolanya kembali. Namun kemampuan lawannya mendribble bola sangat baik, Keenan cukup kesulitan.
“Serius nih gak bisa?”
Gertakan itu tak membuat fokus untuk mengambil bola buyar, begitu kalimat tersebut selesai, bola sudah berada di kaki Keenan. Dimulai dengan rintik kecil kemudian berubah menjadi rintik deras, hujan sudah memberi peringatan sebelum ia datang dengan adanya langit mendung dan gerimis, namun dua manusia itu tak berhenti menggiring si kulit bundar.
“Terus kita main PS 4 bareng, pulang dari sana makan pempek, dan kegiatan itu terus berlangsung selama kamu ada di klub.”
Putaran memori di kepala Keenan berhenti, apa yang diceritakan Laurens memang benar adanya. Tapi dia masih bingung, pernah atau tidak ia menyatakan perasaan pada gadis itu, setahunya—tidak.
“Jadi, dimana letak aku suka kamu?”
“Kalau kamu gak suka aku, ngapain buang-buang waktu buat itu semua?”
Keenan tersenyum tipis, sedikit terkejut dengan kepercayaan diri dari Laurens.
“Aku rasa kamu gak bisa simpulin itu jadi rasa suka, aku anggap kita temenan, makanya aku mau buang-buang waktu.”
Dari caranya berbicara, Laurens dapat menebak bahwa laki-laki di depannya itu tengah berusaha keras untuk menolaknya. Namun melihat itu, Laurens semakin tertantang untuk tetap memperjuangkan perasaannya.
“So? Kamu mau nolak aku?” Alis milik gadis itu terangkat satu, ia seolah bisa menebak pikiran Keenan dengan tepat.
“Tapi aku rasa… Jingga udah nganggap kita pacaran.” Sambungnya. Gadis itu menoleh ke arah kiri, senyumnya mengembang merekah.
Lalu Keenan mengikuti arah pandang gadis itu. Matanya seketika membulat, rangkaian kata yang dipersiapkan untuk memberi tahu apa yang terjadi kemarin malam, hancur berantakan. Tugasnya bertambah banyak, siang ini kesalah pahaman kembali terjadi. Sungguh, dia begitu frustasi menghadapi semua itu. Dia tak pernah membujuk wanita lain agar tidak marah kecuali Evelyn. Gadis itu bisa di iming-iming tahu bulat agar amarahnya mereda, tapi apakah semua wanita bisa menerima itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bulan Juni
RomancePada minggu sore di tepi pantai, pada akhir dari bulan Juni, aku tidak bisa mendeskripsikan perasaan yang terjadi. Netra coklat yang terkena bias mentari berwarna jingga, membuatnya sangat indah, meski aku tak mengenalnya. Tapi semenjak itu, aku ter...