“Kelompok kamu gimana, Ji? Kalo kelompokku bikin pusing banget, mana susah lagi diajak latihan…” dengan tangan yang menyangga kepalanya, se pagi itu Laurens sudah mengeluh.
Jingga menoleh pada gadis itu,“Kelompok aku juga masih jauh dari kata bagus, tapi untung aja mereka rajin latihan.”
“Enak banget, liat Elsa, dia jadi orang paling pusing ngatur kelompok.” Mereka menengok Elsa yang berada di belakang, dapat di lihat dari air wajahnya, ia begitu mumet.
Mereka kembali menghadap ke depan, “Gak apa-apa, masih banyak waktu buat latihan…” Jingga mencoba menenangkan Laurens.
Mengingat Keenan yang mau membantu, mungkin keadaan kelompok Jingga sama seperti kelompok Laurens, pusing, tanpa bantuannya. Meski akhirnya dia tahu presepsinya tentang Keenan selama ini agak kurang tepat, saat berhadapan dengan Kalandra, kakak tingkatnya itu menjadi sedikit emosian. Sebelum itu, dia mengira Keenan adalah orang yang sabar menghadapi gangguan, ternyata dia cukup meledak-ledak.
Sebelum pelajaran pertama itu dimulai, Jingga mengecek ponselnya, kemudian membuka menu kontak. Diurutan paling atas tertera tulisan panggilan tak terjawab, dari Keenan. Tanpa sadar senyuman itu mengembang, kemudian ia tahan susah payah. Dia segera meletakakkan ponsel tersebut, bahaya jika seseorang melihatnya senyum-senyum sendiri.
Masih banyak yang tak Jingga ketahui soal Keenan, meski menurutnya agak kurang sopan penasaran dengan masa lalu seseorang, tapi tetap saja ia ingin mengetahuinya.
Melewati kegiatan rutin istirahatnya yaitu mengunjungi perpustakaan, ia berjalan berdua dengan Evelyn menuju kantin. Jujur saja kegiatan tersebut ia lakukan demi untuk melihat Keenan, meski laki-laki itu tak datang setiap saat, namun rasanya ada yang kurang jika ia tak mengecek ruangan tersebut.
“Kasian Elsa, kewalahan sama kelompoknya.” Ujar Evelyn saat mereka masih dalam perjalanan menuju kantin.
Jingga mengangguk, “Tadi pagi-pagi Laurens udah ngeluh.
Elsa dan Laurens tak ikut ke kantin sebab mereka harus berbicara dengan beberapa orang yang termasuk dalam kelompoknya di kelas, jika bukan di sekolah—tak ada tempat lain untuk memberi sedikit wejangan tentang, apa sebenarnya mau mereka? Tak pernah pergi latihan meski sudah ditetapkan rumah paling dekat. Begitu kira-kira.
“Mau beli apa, Ji?”
“Eum… yang paling best seller apa?”
Evelyn terkekeh tiba-tiba, “Emangnya penjualan buku novel.”
“Sama aja…”
Berakhir mereka berdua memilih satu menu yang sama yaitu, batagor. Keadaan di sana cukup sepi, mungkin sebab bel istirahat berbunyi. Untuk dua orang itu beserta satu kelasnya, mereka mendapat istirahat sedikit lebih cepat dari bel. Sebab guru mata pelajaran memberi sebuah game, siapa yang dapat menjawab pertanyaan dapat keluar untuk istirahat. Tentu saja semua orang di kelas itu sangat gigih untuk menjawab.
“Eve?”
“Hm?”
“Aku boleh tanya, soal aa kamu?”
“Dengan senang hati, aku jawab.”
Satu lagi, sikap Evelyn yang satu ini juga sangat aneh bagi Jingga. Gadis itu memang baik, ceria, dan banyak lagi, namun jika ada sangkut pautnya dengan Keenan, dia sedikit berbeda.
“Aku pernah bilang kan, Ji? Aku mau banget terlibat, dan perasaan suka kamu ke aa, gak salah.”
Mendengar itu, entah berapa kali hati Jingga merasa lega. Tapi entah mengapa dia sangat sulit untuk bertanya banyak hal pada Evelyn.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bulan Juni
RomancePada minggu sore di tepi pantai, pada akhir dari bulan Juni, aku tidak bisa mendeskripsikan perasaan yang terjadi. Netra coklat yang terkena bias mentari berwarna jingga, membuatnya sangat indah, meski aku tak mengenalnya. Tapi semenjak itu, aku ter...