07. Keajaiban Kacamata

10 6 0
                                    

Dari kejadian kakak laki-laki Evelyn berteriak, suasana diantara tujuh orang anak itu menjadi cukup hening. Meski si tuan rumah sudah berkali-kali mengatakan 'tak apa' dan meminta mereka bersuara dengan normal (tidak berbisik), tetap saja rasa takut enam orang tersisa sangat besar.

Lagu telah mereka temukan, lagu yang sudah Rain ketahui dan kuasai dalam permainan gitarnya, tinggal menunggu Kalandra untuk mnyesuaikan. Dan dalam hal tersebut, Willy mencoba sok tahu dengan membimbing Kalandra dalam setiap tepukan di alat music cajon.

"Salah, bukan gitu." Suara tersebut menghentikan kegiatan Kalandra memukul cajon, semua atensi beralih padanya.

Rupanya, kakak laki-laki Evelyn datang kembali, entah dari mana. Wajah datarnya dari bangun tidur tadi tidak berubah, saat ia mendekat—Kalandra menjadi sedikit ngeri.

"Lagunya, apa?" tanya Keenan, pada anak-anak itu.

"Bukti," jawab Annais.

Mendengar jawaban itu, alis milik Keenan bertaut. Mungkin anak-anak itu berpikir bahwasanya lagu tersebut tak cocok untuk dibawakan menggunakan cajon, setelah melihat raut wajah Keenan. Namun yang sebenarnya terjadi, dia lupa lagu tersebut.

"Gak boleh lagu itu, a?" pertanyaan dari sang adik membuyarkan konsentrasi Keenan yang sedang mengingat lagu tersebut.

"Ya boleh aja. Lagu itu banyak orang yang bisa, gak mau nyari lagu lain emang?"

"Justru itu, biar cepet, jadi nyari yang mudah..." Lavanya menjawab.

"Terus kalo temen kelas kalian ada yang pake lagu itu, gimana?" pertanyaan itu tak mendapat jawaban, sepertinya usulan untuk mencari lagu lain cukup masuk akal.

"Aa ada rekomendasi gak? Lagu apa yang bagus?"

Setelah pertanyaan itu terlontarkan, dapat dilihat senyum di bibir Evelyn tiba-tiba saja mengembang dan sedang susah payah ia tahan. Melihat itu, Annais dan Lavanya kebingungan sampai alis milik mereka bertaut.

Jujur saja, Jingga perlu mengumpulkan keberanian untuk pertanyaan itu. Saat ini ia tengah merasakan pipinya panas, belum lagi melihat reaksi dari Evelyn.

"Cantik, gimana?"

Seketika, Jingga merasa kekuatan es dari Queen Elsa menyerang hatinya. Setelah itu ia merasakan kaku disekujur tubuh—astaga! Apa yang baru saja ia dengar?

Jawaban dari Keenan memang cukup membingungkan anak-anak itu, terutama Jingga. Nada bicaranya entah tertuju pada jawaban dari pertanyaan Jingga, atau kembali memberi pertanyaan pada Jingga.

"Cantik, lagunya Kahitna. Pada tau, kan?"

Ahh! Jawaban itu membuat salah paham, untung saja Jingga tak sampai pingsan karena hatinya terkena hantaman bertubi-tubi.

"Aku kayaknya bisa." Ujar Rain, ia mulai memetik senar gitar yang dipegangnya. "Ini kan, a?"

Kepala Keenan manggut-manggut, "Eum... bagus bagus..."

Begitulah awal mula mereka menemukan semangat baru dalam bermusik, selain meminjamkan cajon dan meski sedikit marah-marah di awal, mereka senang kakak dari Evelyn itu bersedia membantu. Waktu dua minggu yang diberi akan mereka gunakan sebaik-baiknya untuk berlatih.

Dan untuk Jingga, kebahagiaannya hari itu dua kali lipat, hikmah dari kejadian yang membuatnya sedih sangat cepat datang. Malam ini, ia membagi cerita dibalik kebahagiaannnya itu pada Elsa, tentu saja. Dengan posisi tengkurapnya, gadis itu begitu antusias mendengarkan cerita dari Jingga. Kemudian ia merasa sedikit kesal sebab tak satu kelompok dengan sahabatnya itu, tak dapat ia melihat wajah Jingga yang memerah.

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang