Wajah kusut, masam, cape, dengan rambut berantakan—malam itu Jingga harus dihadapkan dengan lampu merah terlama seantero Bandung. Di mulai dari 720, gadis itu dan pengendara lain harus menunggu angka tersebut berjalan mundur sampai 0. Dia sudah sangat pasrah, sebab sebelumnya ia terjebak macet dan sekarang harus menunggu lampu merah berubah hijau. Helaan napas berat kembali terdengar.
“Sabar ya…” suara mama di depan yang berusaha menangkan.
Jingga memutar bola matanya kemudian merebahkan diri, di kursi belakang hanya ada dirinya, untuk itu dia bisa leluasa. Tapi tetap saja ia kesal, sebab rebahan di atas kasur jauh lebih nyaman. Gadis itu membuka ponselnya, jam di sana menunjukkan pukul 8.30 dan dia masih terjebak di lampu merah. Untuk itu hari ini ia nobatkan menjadi akhir pekan paling menyebalkan sepanjang masa.
Begitu pula ponselnya tidak ada yang menarik di dalam sana, keheningan yang terjadi saat menunggu lampu merah menghijau itu membuat Jingga merasakan matanya mulai berat, kemudian menutup perlahan.Semakin dalam ia menyelam sampai kini ia berada dalam kegelapan seorang diri, lalu keadaan di sekitarnya menjadi sangat jelas, ia mengedarkan pandangan dengan panik. Berada di tengah hutan seorang diri, ia dapat merasakan jantungnya berpacu dengan cepat dan kakinya merasa lemas. Setelah itu ia mendengar sesuatu dari semak belukar di sampingnya, bukan hanya suara, namun dedaunan yang ada di sana turut bergoyang.
“AAAKK!”
Sosok berambut panjang dengan baju putih muncul dari sana, tak terbang atau melompat, tapi merangkak cepat menuju ke arahnya.
Gadis itu ingin sekali berlari namun entah mengapa lajunya sangat lambat, bahkan meski sudah berteriak sekuat tenaga—suaranya tidak terdengar. Kejadian itu cukup lama, meski berusaha sembunyi, sosok putih merangkak itu selalu menemukan Jingga, dan terus mengejarnya.
Lalu ponsel yang berada di saku celananya bergetar, dia seperti mendapat kesempatan hidup setelah tahu ada ponsel di celananya. Dia masih berlari saat berusaha merogoh ponsel tersebut, saat dapat, dia melihat nama Keenan di layar ponselnya.
“Ji.. Jingga?” mama mengguncang tubuh Jingga yang terlihat gusar dalam tidurnya itu.
“Bangun, itu ada yang nelpon.”
Jingga terus membuka mata dan membawa ponsel yang telungkup di atas perutnya. Setelah di lihat, ada panggilan masuk dari Keenan.
“Halo, a?”
“Ji, kamu di mana?”
“Aku—di jalan.” Alis milik Jingga bertaut, dia kebingungan, mengapa sekarang ia dalam posisi terlentang, bukanya tadi dia sedang berlari?
“Pergi?”
“Pulang.”
“Syukur deh…”Tak ada suara lagi dari sebrang, Jingga bangkit untuk melihat ke luar jendela mobilnya.
“Kalau aku nunggu di alun-alun, kamu mau datang?”Gadis itu bergeming, setelah beberapa saat tertidur bahkan sampai mimpi dikejar hantu, angka yang mundur di lampu merah itu masih berada di detik 36. Saking kesalnya, suara Keenan sampai tak terdengar dan dirinya tak sadar masih berada dalam panggilan tersebut.
“Gak apa-apa kalau gak bis—“
“Bisa! Tunggu aku.”
Jingga terus mematikan sambungan itu.
“Woi! Ini kapan jalan nya?!”
Mama dan papa yang berada di depan tentu saja terperanjat, mereka menoleh kompak pada anak gadis yang penampilannya sudah sangat amburadul.“Bentar lagi, tuh liat udah 19.” Ujar mama dengan suara lembut meski beliau juga kesal dengan lampu yang tak kunjung hijau.
“Udah, tidur lagi aja.” Imbuh papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bulan Juni
RomancePada minggu sore di tepi pantai, pada akhir dari bulan Juni, aku tidak bisa mendeskripsikan perasaan yang terjadi. Netra coklat yang terkena bias mentari berwarna jingga, membuatnya sangat indah, meski aku tak mengenalnya. Tapi semenjak itu, aku ter...