09. Kantin Sekolah

18 6 0
                                    

Saat bel istirahat sudah berbunyi, gerombolan siswa datang bak zombie kelaparan. Tujuan mereka sama, menyerang bibi kantin dengan rentetan pesanan makanan. Untung saja bibi kantin memiliki beberapa asisten, sehingga ia tak pusing sendirian.

Selesai dengan pesanan, tentu saja mereka akan pusing dengan tempat duduk. Kursi dan meja di sana tak bisa menampung semua siswa, alhasil banyak yang berjongkok.

Seperti Jingga, dia membiarkan orang lain menempati kursinya dengan Evelyn, meski gadis itu masih kebingungan saat Jingga meninggalkannya untuk menduduki kursi lain. Dalam keadaan seperti itu, duduk dengan siapa pun tak akan menjadi masalah menurutnya, meski akhrinya tiga orang yang duduk bersama merasa kebingungan.

“Oh? Maaf ya a, izin duduk di sini. Kursi aku diambil yang lain.”

Dilihat dari bordiran nama yang menempel di baju, laki-laki yang duduk di hadapannya bernama Nurhidayat, dan yang di sampingnya bernama Ridho. Kemudian yang duduk di samping Nurhidayat, tentu saja Keenan.

Sejak Jingga mendekat membawa es teh dan batagor, Nurhidayat dan Ridho menyadari kedatangannya, dari wajahnya terlihat sangat bingung. Sementara Keenan baru menoleh saat gadis itu bersuara.

“Main ninggalin aja,” Evelyn datang dengan piring dan gelas kosong.

“Kok piringnya, kosong?” tanya Nurhidayat.

“Udah abis, makanya di usir dari sana.” Jawab Evelyn.

“Tapi ini, masih penuh.” Ridho menunjuk piring milik Jingga.

“Dia mah, makan nya lama.” Evelyn kembali menjawab.

Satu gelas es teh yang berada di depan piring Keenan kini berpindah ke depan Evelyn, ia melakukan hal tersebut tanpa menghentikan kegiatannya menyendok siomay. Dua temannya itu tidak tahu, bahwa mereka kakak beradik, sehingga mereka kompak mengernyit.

“Gak usah, nanti seret, nyuruh aku pesen lagi.” Gelas itu kembali pada si pemilik.

Keenan tak menghiraukan itu, perutnya yang keroncongan tak bisa mengalihkan atensinya dari siomay di piring. Dia juga mengabaikan temannya yang masih kebingungan, hingga akhirnya ia mulai menyedot es teh yang sudah dua kali berpindah tempat—siomay itu sudah habis ia santap.

“Laper atau doyan…” gumam Ridho.

“Kamu weh lama makan nya.” Akhirnya Keenan bersuara.

Sementara Nurhidayat terus tengok sana tengok sini, ia bulak-balik melihat kearah Keenan dan Evelyn.

“Kalian berdua, mirip ya?” sepertinya ia sudah menarik kesimpulan tentang pikirannya selama itu.

“Dia adek aku,” akhirnya kebingungan itu menemui ujung saat Keenan menjawab.

Nurhidayat dan Ridho kompak mengangguk, pantas saja begitu bertemu langsung mempunyai kemiripan.

“Dho, sabtu gas nobar.” Ujar Nurhidayat pada Ridho.

“Hayu, hayu, rumah Keenan lah…”

“Jangan, pasti gak mau, orang dia fans City.”

Keenan menepuk pundak Nurhidayat, “Good job. Lagian, bakal kalah gak sih? Brighton kan kemaren menang lawan Everton.”

“Eh… jangan nganggap remeh gitu, yakin dah bakal juara taun ini,” Nurhidayat menurunkan tangan Keenan yang masih nangkring di pundaknya.

“Tapi realistis aja sih, fans boleh… tapi—“

“Apa? Mau bilang, City lagi yang menang?”

“Pasti menang, setara lah sama Real Madrid.”

“Mimpi!”

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang