Tangan kanan mengusap sikut tangan kiri yang menggantung, sibuk menerka-nerka apa maksud dari Keenan memanggil untuk menjauh dari kerumunan. Kalandra dan Rain sebelumnya sudah tahu bahwa pahatan wajah itu memang ditakdirkan untuk menjadi manusia yang memiliki watak cuek dan dingin, namun siapa sangka watak tersebut membawa ketegangan dan kecanggungan diantara mereka.
Di lorong belakang deretan kelas-kelas, dekat dengan gudang penyimpanan berbagai peralatan sekolah yang sudah usang. Keenan memasukkan kedua tangannya pada saku celana, masi menatap tajam dua adik kelasnya itu.
"Kenapa kalian ambil video secara diam-diam? Abis itu dipost di social media." Keenan tak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk bersuara, keadaan di sana cukup sepi, bahkan suara kentut diam-diam pun bisa terdengar.
Hari ini sudah sangat jauh dari hari dimana Jingga marah padanya saat di alun-alun, Rain terus menyesal dalam diam, mengapa hari itu dia tidak langsung memberitahu Keenan?
Sementara Kalandra sibuk menggigit bibir, dia tengah memikirkan alasan sekaligus jawaban dari pertanyaan Keenan.
Melihat bungkamnya dua anak itu membuat Keenan menghela napas. "Aku gak mau tau, hari ini, video itu harus dihapus."
"Tapi a-"
Kalandra bersuara saat Keenan hendak mengambil langkah besar untuk meninggalkan tempat itu.
"Bukanya bagus? Kenapa malah minta dihapus?" tanya Kalandra.
"Apanya yang bagus? Di kerumunin orang kayak tadi?"
Mengangguk cepat, Kalandra tak menyadari air wajah tegas Keenan sudah berubah. Bibirnya bergetar saat rahang diam-diam mengerat, penglihatan semakin memburam sebab air mata yang perlahan naik, tangan mengepal kuat dibawah sana.
Rain yang menyadari hal tersebut membawa Kalandra untuk mundur perlahan. "Kita minta maaf, gak ada alasan lain buat ini. Aku sama Kal salah sebab gak minta izin lebih dulu..."
Kalimat Rain menjadi bahan bakar yang membuat Keenan semakin berapi-api, setiap malam yang membuat hatinya temaram turut menyumbang tenaga untuk api amarahnya. Lalu seluruh amarah tersebut mengalir pada tangan yang mengepal kuat-
Blam!
Sebuah pohon bonsai tua didalam pot yang sudah memiliki banyak retakan hancur seketika saat tangan kanan milik Keenan menghantamnya dengan kuat. Tak ada satu pun benda yang dapat menerima tenaga dari amarah laki-laki itu, selain pot usang tersebut.
Napasnya terengah-engah, air matanya sudah jatuh bersamaan dengan pot yang runtuh. Perih tak terasa sama sekali saat darah mulai bermunculan dari sela jari. Lalu kaki itu kembali mengambil langkah besar untuk pergi dari sana, dan tak ada yang bisa menahannya.
Rain dan Kalandra benar-benar membeku di tempatnya, mereka hanya bisa melirik pot yang sudah hancur berkeping-keping di samping. Jantung itu berdegup kencang, tak tahu kapan akan kembali pada degup normal.
Sementara Keenan masih dengan langkah besarnya, menuju kelas dengan cepat dan tak menghiraukan apapun yang ia lewati. Bahkan saat netra itu menemukan gadis yang sudah lama tak ia lihat-bukan hari ini, sangat tidak tepat. Dia melewati Jingga begitu saja.
"Woi! Dari mana aja?" teriak Ridho saat pintu kelas dibuka olehnya.
"Liat ini," Ridho menunjukkan beberapa bungkus makanan ringan dan coklat di mejanya, "tadi tiba-tiba banyak gerombolan cewek nyariin kamu terus ngasih ini. Berhubung aku gak tau kamu ke mana, yaudah aku tampung dulu. Aman kok, belum ada yang aku buka."
Rasa marahnya belum mereda, degup jantungnya belum kembali normal, begitu pula napasnya, masih memburu setelah beberapa anak tangga yang dilewati. Namun dirinya sudah dibawa kembali pada masa lalu. Dada itu rasanya semakin sesak, pikirannya tak karuan, tiba-tiba terdengar banyak suara datang bersamaan dengan bayangan orang-orang yang berdesakan. Sampai laki-laki itu tidak sadar, Ridho di sampingnya terus mengguncang tangannya yang menutupi telinga. Dan dengan wajah paniknya dia bertanya, ada apa? Tapi Keenan tidak mendengar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bulan Juni
RomancePada minggu sore di tepi pantai, pada akhir dari bulan Juni, aku tidak bisa mendeskripsikan perasaan yang terjadi. Netra coklat yang terkena bias mentari berwarna jingga, membuatnya sangat indah, meski aku tak mengenalnya. Tapi semenjak itu, aku ter...