20. Harap Hujan di Langit

23 4 0
                                    

Harap hujan di langit, air di tempayan ditumpahkan. Melihat air yang beriak sebab air mancur buatan ditengahnya, membuat Jingga mengingat peribahasa tersebut. Ia mungkin mengharap hujan dari langit, namun ia tak menumpahkan air dalam tempayan. Lagi, katanya jika melihat kehidupan orang lain sempurna, coba tanya, apa yang Tuhan ambil darinya?

Jingga sebenarnya tidak tahu kehidupan sempurna itu seperti apa, apakah seperti seorang ayah yang tersenyum lebar saat buah hatinya melangkah untuk pertama kali,  mendapat semua prestasi dan membanggakan orang tua, atau pacaran setiap hari seperti yang dilakukan kedua orangtuanya?

Ah! Jingga merasa muak, setiap kali ia diajak keluar untuk berlibur, ia harus menyaksikan kemesraan dua orangtua itu. Dia sudah tahu akan begini, lebih baik ikut latihan di rumah Evelyn—tapi ia dibujuk untuk tetap ikut. Padahal setelah hari ulang tahun sekolah hari itu, dia tak pernah bertemu dengan Keenan, dia rindu berat.

“Pa, ma, ayo pulang.” Pintanya sambil merengek, kali ini sudah percobaan ke 5 Jingga mengajak pulang.

“Sunset nya bagus, Ji, diem di situ.” Kini mama ngengkat ponsel miliknya sejajar dengan wajah kemudian mengambil gambar Jingga.

Setelah foto tersebut diambil terdengar helaan napas kekaguman. “Gak salah aku namain dia Jingga, liat, menyatu banget sama warna jingga di langit."

Papa manggut-manggut sambil menyeruput kopinya. “Send ke aku foto nya.”

Mereka adalah orang tua yang baik, gaul, melek teknologi, namun terkadang Jingga sendiri tidak mengerti, mengapa kepribadiannya tidak ada yang mirip dengan mereka? Jika ada waktu luang, dia sering lupa untuk bertanya, mirip dengan siapa kah sikapnya? Jika dengan mama, mungkin saja dia bisa menempel pada papa, begitu pun sebaliknya, tapi ini tidak. Atau mungkin dia anak pungut? Dia tidak mau mencari tahu.

-

“Chh—galau, kan?” malam itu Evelyn kembali menemui Keenan yang duduk di teras dengan gitar miliknya, tak lupa pula susu dalam gelas.

“Kata aku juga, waktu beres lomba langsung temuin dia. Jelasin apa yang sebenernya terjadi.” Sambung gadis itu, ia kemudian menyeruput susu dalam gelas miliknya.

“Ngomong apa kamu,” Keenan acuh dengan kalimat panjang dari adiknya itu, dia sibuk bulak-balik melihat chord dalam layar ponselnya.

“Dih, apalagi kalo bukan Jingga yang bikin aa duduk di sini sambil ngulik chord lagu-lagu galau?” gadis itu berdecak.

“Gak sekali ya, Eve tau. Sebelumnya aa gak pernah main gitar di sini, cuma hari itu setelah nanyain Jingga ke aku, aa mulai main gitar di sini. Sehari sebelum besoknya ulang tahun sekolah, dari sore sampe jam sepuluh malem, terus sekarang. Dan aa gak pernah main satu pun lagu sampe beres kalo duduk di sini.” Evelyn kembali meneguk susu di gelas, dan Keenan masih acuh.

“Hari ini Jingga gak dateng buat latihan, dan chord yang lagi aa ulik lagu ‘Andaikan kau datang kembali.”

“Gak usah bikin cocoklogi deh…” tangan itu mulai memetik senar gitar di pangkuannya.

“Denial terus, capek banget.” Evelyn memilih beranjak dari sana daripada adegan selanjutnya dia harus menjambak rambut Keenan sebab terus diabaikan.

Kemudian irama itu berhenti, Evelyn benar, dia tak pernah bisa menyelesaikan satu lagu jika berada di teras dengan satu gelas susu.

Tentang Jingga, Keenan yakin bahwa Evelyn sudah menceritakan beberapa tentang masa lalunya pada gadis itu. Gadis sepertinya sudah banyak ia temui, menyatakan perasaan dengan lantang. Namun pertemuan pertama mereka yang membuat Keenan merasa— jika diteruskan akan menarik. Dan ternyata hal tersebut tidak salah, benar-benar menarik sehingga kepercayaan diri yang sudah lama hilang kembali dengan mudah.

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang