24. Bandung dan Pengaturan Awal

18 6 1
                                    

Jika sudah memasuki musim penghujan, banyak orang mengatakan bahwa Bandung sudah kembali pada pengaturan awal. Dingin terus menyeruak selama tirai hujan tak berhenti, dan sialnya hal tersebut terjadi pada hari senin. Hari yang mungkin menjadi momok bagi beberapa orang yang belum bisa terlepas dari akhir pekan. Dan anehnya, hari tersebut seakan datang sangat cepat dalam setiap minggunya, perasaan baru kemarin. Kalimat yang banyak terdengar di hari senin.

Waktu menunjukkan pukul 6.05, Jingga sudah membuka matanya meski seluruh tubuh terlilit oleh selimut tebal. Air yang meluncur bebas setelah mendarat di atas genteng rumah menjadi pemandangannya saat ini, dia masih tidak ingin beranjak. Magnet dari kasurnya sangat kuat, sudah sepuluh menit dari awal dirinya membuka mata, tapi tetap tidak ada pergerakan.

Dep… dep… dep…

Jingga segera loncat dari kasurnya saat mendengar langkah kaki mendekat menuju kamarnya, dia terus menyambar handuk kemudian memasuki kamar mandi. Dia tidak sanggup jika harus mendengar mama mengomel, sekarang kemampuan mengomel mama sudah setara dengan ibu-ibu lainnya. Dan sekarang juga gadis itu mulai merasakan hal yang dirasakan Elsa.

Kegiatan mandi pagi itu berlangsung lebih cepat dari biasanya, tangan, rahang, dan seluruh tubuh sudah bergetar sebab tak kuasa menahan dingin.
Keadaan rumah sudah sangat berubah, Jingga hampir tak merasakan sepi itu lagi. Saat berangkat sekolah ada mama, begitu pun sepulang sekolah. Ia tak perlu meminta Elsa untuk datang, atau dia sendiri yang pergi ke rumah temannya itu untuk minimalisir sepi.

Pernah sekali saat mereka tengah menyantap makan malam papa bertanya pada Jingga, mau punya adik atau tidak? Namun dengan cepat menyuapkan kerupuk ke mulut papa. Dengan begitu percakapan tentang bertambahnya anggota keluarga tak pernah dibahas lagi sampai sekarang. Tapi meski begitu, Jingga tak keberatan sama sekali jika dirinya mempunyai seorang adik.

Hujan masih dengan eksistensinya yang cukup deras, begitu Jingga sampai di kelas, hanya ada beberapa orang yang sudah datang. Mereka semua mengenakan jaket tebal, bahkan tak menggunakan sepatu karena sudah dipastikan beberapa wilayah mengalami banjir.

“Ji, Sini deh!” Evelyn yang tengah duduk bersama dengan Rain dan Kalandra, memanggil.

Jingga mendekat. “Lagi ngomongin apa?” tanya nya begitu bersandar pada satu meja.

“Kelompok kita kan dapet nilai paling tinggi, gimana kalau kita rayain itu?”

“Rayain gimana?”

“Jalan-jalan ke suatu tempat misalnya.”

Kalandra mengetuk-ngetuk meja menggunakan bolpoin. “Sekarang lagi musim hujan Eve, mau jalan-jalan ke mana?”

“Anak kayak gini nih susah banget diajaknya, daritadi alasannya lagi musim hujan.” Evelyn menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Tapi ada benernya juga sih, mana di sini rawan banjir.” Imbuh Rain.

“Ya jangan jalan-jalan di sini atuh Rain…” Evelyn masih percaya usulannya untuk jalan-jalan bersama itu akan berhasil.

“Kamu udah ada gambaran mau ke mana?” tanya Jingga pada Evelyn.

“Dago…”

Leeur!”

“Ishh!”

Kalandra memang siap berdebat dengan siapapun jika memang pikirannya tidak sejalan dengan mereka.

Tempat yang disebutkan Evelyn memang sangat terkenal dan erat hubungannya dengan romantisasi Kota tersebut dengan hujan. Bahkan mungkin orang di luar Bandung dapat langsung menyimpulkan bahwa Kota tersebut adalah Kota paling romantis setelah melihat Dago. Kalau kata anak kampung asli, coba main ke Kabupaten!

Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang