"santai dong Zee. kalau lo bukan pacarnya, kenapa lo mesti marah?. atau jangan jangan apa yang di bilang Jinan itu bener ya? kalian pacaran." ucap Siska.
"anjing lo!!." teriak Zee.
BUGGHH....BUGGHHH....BUGHHH...
"mati lo Siska. gue bunuh lo bangsat." Zee mencekik leher Siska yang sudah terbaring lemah di lantai.
"Zee udah.." lerah Chika dan dua teman Siska itu.
kini mereka sudah di kerumuni oleh siswa dan siswi lainnya yang belum pulang.
tidak ada yang berani membantu untuk melerai kedua gadis itu. Zee sudah seperti sedang kesetanan sedangkan Siska terlihat sudah memprihatinkan dengan darah yang keluar dari hidung dan juga bibirnya.
"ZEE UDAH ANJING!!. SADAR BEGO. LO MAU BUNUH ANAK ORANG!!." teriak Chika sambil menarik pundak Zee.
akhirnya gadis itu mendengarkan ucapan Chika. nafasnya sudah terengah engah. ia melihat Siska yang sudah tidak sadarkan diri.
"bawa temen anjing lo ini dari sini atau lo pada juga ikut di bunuh sama Zee." ucap Chika menyuruh ketiga kakak kelas nya itu untuk pergi.
ia melihat Zee yang masih mencoba untuk mengatur emosinya.
"kalian mau lihat apa lagi?. pergi kalian semua." ucap Chika pada siswa dan siswi yang masih mengerumuni mereka.
Chika pun langsung menarik tangan Zee menuju taman belakang. di sana ia menduduk kan Zee di sebuah kursi besi yang ada di bawah pohon rindang.
"duduk lo." ucapnya. Zee hanya nurut saja dengan perintah temannya ini.
"lo itu apa apaan sih kaya gini. harusnya gue yang emosi Zee, buka elo." ucap Chika yang masih berdiri di hadapan Zee.
"gue itu bantuin lo dari orang orang tolol kaya Siska,Chik." ucap Zee mendongakkan kepalanya karena Chika lebih tinggi.
"tapi nggak kaya gini juga Zee. lo bisa di panggil ke ruang BK dan dapat masalah. gue nggak papa di giniin sama mereka. ucapan mereka itu bener. gue memang miskin, dan gue memang nggak pantes sekolah disi. jadi, di mana letak salah mereka?."
Zee pun berdiri di hadapan Chika. ia menggertakkan giginya dan menatap sahabatnya ini dengan tatapan yang sangat tajam.
"pemikiran lo ternyata sama aja kaya mereka. sama sama pemikiran sempit dan tolol. lo itu sedang di rendahkan Chika!!. lo nggak pantes di giniin."
"nggak pantes dari mananya Zee?."
"lo fikir gue nggak tau apa, kalau selama ini lo itu sering di bully sama Siska?. lo juga sering di siram pakai air yang bau kaya gini sama mereka. dan bodohnya lo nggak pernah melawan mereka sedikit pun. lo itu bego, kalau lo tau lo itu miskin, harusnya lo jangan mau di injak injak kaya gini. ini tentang harga diri lo. mau sampai kapan lo di bully kaya gini Chik?."
Chika terdiam di hadapan Zee tanpa ingin memutuskan kontak mata mereka.
"gue nggak habis fikir sama jalan fikiran lo. lo mau aja di injak injak sama orang yang punya mulut sampah kaya Siska. lo harus bisa lawan Chik. lo jangan mau jadi orang lemah."
Chika menggelengkan kepalanya."kalau gue lawan mereka, otomatis beasiswa gue bakal di cabut karena gue buat masalah disini Zee. gue masih mau sekolah. gue mau sukses kaya lo juga. gue nggak mau jadi pelacur di luar sana. gue pengen punya masa depan. gue juga pengen bahagiain oma."
kepala Chika tertunduk. ia menangis di hadapan Zee. sedangkan gadis itu terdiam mendengar ucapan sahabat nya ini.
Zee pun membawa Chika kedalam pelukannya. tidak perduli kalau baju sekolahnya akan terkena air bau yang ada di baju Chika. ia mengelus punggung Chika agar sahabat nya ini merasa sedikit tenang.
"maaf..maafin ucapan gue." ucap Zee dengan suara yang penuh penyesalan.
Chika langsung melepaskan pelukan itu lalu menangkup kedua pipi Zee." lo nggak pernah salah. gue tau lo akan belain gue. tapi jangan di ulangi lagi ya. biarin aja mereka melakukan segala hal sesuka hati mereka. gue di sini cuma anak miskin yang beruntung dapetin beasiswa. jadi pasti akan kalah sama anak anak tajir kaya kalian. gue rela kok di bully asal beasiswa gue nggak di cabut."
"gue janji akan lindungi lo dari siapapun."
Chika pun menampakkan senyuman manisnya.
"makasih ya lo udah selalu ada untuk gue. gue berhutang budi sama lo dan keluarga lo."
"jangan gitu. gue dan keluarga gue nggak pernah nganggep kebaikan kami itu sebagai hutang. kami ikhlas nolongin lo dan oma."
Chika pun membawa Zee kedalam pelukannya lagi. ia merasa sangat beruntung mendapatkan sahabat sebaik Zee.
sementara di rumah sakit, Shani dan Reva sedang berada di dalam ruangan dokter yang menangani Reva tadi sebelum anak nya itu melakukan tes labor.
"jadi gimana hasil kesehatan anak saya, dok?." tanya Shani.
dokter itu menghembuskan nafasnya kasar. ia membuka kaca mata bacanya dan meletakkan nya di atas meja.
"ini hasil nya buk." ucap dokter memberikan sebuah amplop yang berisikan hasil pemeriksaan labor tadi.
Shani pun membuka amplop itu lalu membaca isi suratnya dengan sangat teliti.
seketika air matanya menggenang di pelupuk mata. ia mencoba berusaha untuk menahan air matanya agar tidak terjatuh.
"hasil nya positif leukemia dok?." ucap Shani. tangan nya sudah bergetar dengan hebat. bahkan kini air matanya sudah mengalir begitu saja. ia tidak bisa membendung air mata itu lagi.
"benar buk. nona Reva di diagnosa terkena penyakit leukemia stadium tiga yang di mana pada tahap ini, komponen sel darah lainnya sudah mulai terpengaruh, yaitu sel darah merah mulai rendah (anemia) namun trombosit masih cenderung normal. Selain itu, kerap disertai dengan pembengkakan kelenjar getah bening, hati, dan juga limpa. jadi kita harus segera untuk melakukan kemoterapi sebelum terlambat buk."
"lakukan yang terbaik untuk anak saya dok."
"pasti buk. kita akan melakukan kemoterapi pertamanya tiga hari lagi. saya harapkan untuk tiga hari kedepan nona Reva jangan melakukan kegiatan yang berat dulu. nona Reva harus banyak istirahat ya."
Reva hanya mengangguk sebagai jawaban. ia tidak bisa berkata kata lagi. mulutnya kelu dan otaknya seakan akan berhenti sejenak. ia masih tidak menyangka kalau ia akan mengidap penyakit seperti ini.
"a-aku keluar deluan ya ma." ucap Reva.
Shani menghapus sisa air matanya lalu mengangguk. Reva pun langsung keluar dari ruangan itu.
gadis itu mencari keberadaan kembarannya yang ternyata sedang duduk di sebuah kursi yang jaraknya agak jauh.
Reva langsung memeluk tubuh berotot kembarannya itu dan menangis di dada bidang Adel.
pemuda itu masih bingung dengan kembarannya ini. kenapa Reva? kenapa dia menangis?. terlalu banyak pertanyaan yang ada di otaknya. tetapi ia belum berani untuk menanyakan hal itu karena ia ingin kembarannya tenang terlebih dahulu.
setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Reva pun melepaskan pelukannya. ia menghapus air matanya sendiri.
Adel menangkup kedua pipi Reva lalu menatap mata kembarannya itu dengan tatapan yang begitu dalam.
"kamu kenapa?. kok nangis." tanya Adel dengan suara yang terdengar sangat lembut.