setelah selesai sarapan, kini mereka Harlan beserta keluarga nya sedang berkumpul di ruang keluarga lantai dua. mereka menikmati weekand ini dengan bersantai di rumah saja. awalnya sih mereka berniat untuk pergi jalan jalan ke mall, tetapi mengingat Reva yang tidak boleh kelelahan dan harus banyak istirahat, mereka pun mengurungkan niat itu.
Zee masih terlihat sangat marah. wajah datarnya menampakkan ekpresi kekesalan.
Shani menghembuskan nafasa nya kasar. ia pun memeluk tubuh Zee dari samping.
"Zizi kenapa nak?. kok dari tadi marah marah sih?. kan obat nya juga udah di minum." ucap Shani.
"nggak papa ma."
"coba deh Zizi cerita sama mama papa. atau Zee mau cerita sama Zean?, Adel?, Reva?."
"iya kak Zee, cerita aja." sambung Adel.
Zee menghembuskan nafasnya kasar. suasana hati nya terasa semakin tidak baik. ia tidak tau apa yang membuatnya seperti ini. dari ia bangun tidur tadi hingga sekarang, suasana hatinya sudah di baluti oleh emosi yang tertahan.
"aku mau kekamar aja." ucap Zee. ia ingin menjauh dari keramaian agar ia merasa sedikit tenang.
"aku ikut." ucap Reva.
"nggak usah. aku nggak mau emosi aku bertambah dan menyakiti hati kalian." gadis itu pergi begitu saja dari hadapan keluarganya.
Shani dan Gracio pun hanya dapat menghela nafas kasar.
"udah, biarin aja Zee kekamar. siapa tau Zee nya memang lagi buruh sendirian." ucap Gracio.
mereka semua pun mengangguk setuju dengan ucapan Gracio.
hingga hampir tiba waktu makan siang pun, Zee belum juga menunjukkan batang hidung nya di hadapan keluarganya itu.
Reva memutuskan untuk melihat keadaan kakak nya yang masih betah berada di dalam kamar.
tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Reva langsung membuka pintu kamar Zee dengan pelan.
ia dapat melihat kakak perempuannya itu sedang duduk di tepi kasur sambil menghadap ke arah jendela besar kamar nya.
Reva pun berjalan masuk dan menutup kembali pintu kamar dengan rapat. ia berjalan pelan menuju kasur.
"kamu kenapa?." tanya Reva dengan suara yang lemah. ia duduk di sebelah Zee dan ikut menatap ke arah jendela besar itu.
Zee masih diam saja. bahkan ia tidak melihat ke arah adik nya itu sama sekali.
"Zee.." panggil Reva.
Zee masih diam.
"aku minta ma.."
"kamu nggak perlu minta maaf. kamu nggak pernah salah. aku yang salah udah bentak kamu tadi." ucap gadis itu langsung.
"kamu kenapa?. coba deh cerita sama aku kalau kamu nggak mau cerita sama mama atau papa."
"aku nggak tau Reva!!. aku nggak tau aku ini kenapa. aku nggak ngerti sama perasaan aku sendiri."
Reva langsung memeluk kakak perempuannya ini dari samping. ia mengelus pundak Zee untuk memberikan ketenangan.
"kamu itu cuma butuh pelukan doang. gimana?. masih merasa emosi?. "
Zee hanya diam. kini air matanya sudah mulai menggenang di pelupuk matanya.
Reva sedikit kaget melihat kakak nya yang hampir menangis. bahkan sekarang air mata itu sudah mengalir keluar.
"hei, kenapa nangis?. aku nakal ya?. aku janji deh nanti aku akan makan yang banyak biar kamu nggak khawatir lagi sama aku."
"kamu kenapa baik banget?. kenapa kamu nggak mau ngelawan aku setiap aku emosi nggak jelas?. harus nya kamu lawan Reva, biar aku nggak ngerasa bersalah sama kamu karena udah luapin emosi aku ke kamu."
"emosi nggak harus di bales dengan emosi Zee. aku tau itu cuma emosi sesaat kamu doang. jadi nggak perlu di perbesar masalahnya. kamu itu juga memiliki penyakit mental, jadi aku memaklumi hal itu."
"dari dulu, aku bukan kakak terbaik kamu kan Rev?"
"siapa bilang?. kamu bicaranya makin ngelantur deh. justru kamu itu kakak terbaik aku Zee. kamu, Zean, dan Adel itu adalah kakak terbaik aku sampai kapan pun."
"tapi aku selalu jahat sama kamu. aku selalu mukul kamu, aku selalu ngebentak kamu."
"kamu mukul aku karena aku salah kan?. kamu juga ngebentak aku juga karena aku salah kan?."
Zee mengangguk sebagai jawaban.
"nah, ya udah. nggak ada yang harus di permasalahin Zee. omongan kamu makin lama makin aneh deh. kamu minum obat penenangnya lagi ya?. biar aku mintakan sama mama. kalau kaya gini terus, yang ada emosi kamu nggak akan mereda. bahkan bisa makin parah."
tangan Reva langsung di tahan oleh Zee saat adik nya itu ingin pergi.
"kenapa?." tanya Reva.
Zee menghapus sisa air matanya dengan kasar.
"aku capek minum obat itu terus. "
Reva pun berdiri di hadapan Zee lalu memeluk kakak nya itu yang masih duduk di pinggiran kasur.
Zee membenamkan wajahnya di perut rata Reva.
"besok aku mau kemo, aku nggak mau kefikiran sama kamu terus Zee. aku juga mau sembuh kaya dulu. kita sembuh sama sama ya."
"maaf... maafin aku."
"aku juga cuma mau kamu sembuh dan nggak marah marah terus."
"maaf Rev... maafin aku."
"ya udah, aku juga udah maafin kamu. sekarang ayo kita kebawah. udah waktu nya makan siang ini. habis itu kamu harus minum obat lagi biar emosinya mereda."
Zee mengangguk sebagai jawaban. Reva pun tersenyum setelah mendapat jawaban dari kakak nya itu.
Reva melepaskan pelukannya. ia pun merendahkan tubuhnya. ia berdiri menggunakan lutut sebagai tumpuan untuk meyamakan tinggi nya dengan Zee.
ia mengecup kedua pipi Zee lalu tersenyum hangat.
"gimana? udah ngerasa baikan?." tanya Reva.
Zee mengangguk lagi sebagai jawaban." udah." ucap nya.
"nah, gitu dong. kamu itu cuma perlu pelukan doang sebagai obat emosinya."
"kok kamu tau sih?."
"nebak doang sih. soalnya aku kalau lagi emosi pengennya di peluk."
Zee pun terkekeh mendengar jawaban adiknya ini.
"gitu dong, ketawa. kamu harus bisa mengontrol emosi kamu. oh iya, besok kamu harus temenin aku kemo ya. aku mau kamu ada di samping aku biar aku nggak takut."
"iya. aku besok akan temenin kamu kemo."
Reva pun langsung memeluk tubuh Zee lagi." makasih Zee... makasih udah selalu ada untuk aku walau pun sekarang aku udah penyakitan."
"hei..kamu jangan bicara kaya gitu. kamu pasti sembuh Rev..kamu pasti sembuh kaya dulu lagi."
Reva hanya diam saja dalam pelukan itu.
"berjanjilah sama aku untuk tetap bertahan Reva. aku sangat membutuhkan kamu sampai kapan pun. aku sayang sama kamu Rev. bahkan aku sayang sama kamu melebih aku sayang ke diri aku sendiri."
"aku juga sayang sama kamu Zee."
kedua gadis itu pun sama sama melepaskan pelukannya. Zee langsung mengecup pipi kanan Reva lalu tersenyum.
"jangan pernah putus asa. banyak anak anak di luar sana yang pejuang kanker kaya kamu, tapi masih tetap semangat untuk bertahan hidup. aku, mama, papa, Ze, dan Adel akan terus ada di samping kamu, nemenin kamu, bahkan ikut berjuang agar kamu sembuh kaya dulu lagi. kamu nggak akan pernah merasa sendirian Rev."
"makasih ya, kamu juga harus sembuh. kita berjuang sama sama kaya apa yang kamu bilang."
Zee mengangguk sambil tersenyum. setelah puas berpelukan, kedua gadis itu pun memutuskan untuk ke lantai bawah karena sudah waktu nya untuk makan siang. kini suasana hati Zee sudah mulai membaik saat ia mendapatkan pelukan dari adik nya itu.
Reva benar, obat dari segala emosi hanya lah sebuah pelukan saja.