Sudah tiga hari Zayyan terkurung di ruangan ini. Tempat ini menawarkan pemandangan yang memukau, namun sayangnya hati dan pikirannya terperangkap dalam kegelapan, tak mampu menikmati keindahan itu. Sing yang posesif melarangnya keluar rumah bahkan untuk sekadar menemaninya membeli makanan. Zayyan merasa tertekan oleh sikap adik tirinya itu, sementara pikirannya terus melayang pada nasib keluarganya di rumah. Mereka pasti sangat mengkhawatirkan dirinya dan juga Sing, memikirkan keadaan mereka tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Selain itu, Sing juga menonaktifkan ponselnya dan melarangnya menghubungi siapa pun, termasuk orang tua mereka. Zayyan yang ketakutan hanya bisa patuh dan menurut, tak ingin memprovokasi tindakan nekat dari adik tirinya. Ia tahu, jika ia berani menentang, Sing mungkin akan melakukan sesuatu yang berbahaya, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadapnya. Ancaman itu menjadi kelemahan terbesar Zayyan, membuatnya tak mampu memberontak meskipun hati kecilnya ingin bebas dari belenggu ini. Setiap kali pikirannya terlintas untuk melawan, bayangan wajah khawatir ibunya dan nasib Sing selalu menghantuinya, membuatnya kembali tunduk dalam ketidakberdayaan.
Tiba-tiba, sebuah ide melintas di benaknya, yaitu mengambil ponselnya yang disita Sing secara diam-diam. Kebetulan, Sing sedang keluar untuk membeli makan malam. Dengan hati-hati, Zayyan melangkah mendekati lemari baju di sudut ruangan. Kemarin, ia sempat melihat Sing menyimpan ponselnya di sana. Jantungnya berdebar kencang saat tangannya meraih gagang lemari, seolah ketakutan jika gerakan kecil ini akan mengundang malapetaka.
Dalam keheningan yang mencekam, Zayyan membuka pintu lemari perlahan, berharap tidak ada suara yang keluar. Matanya menyapu seluruh isi lemari, dan akhirnya ia melihat ponselnya tergeletak di bawah tumpukan pakaian. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel tersebut, merasakan harapan yang lama hilang mulai menyala kembali.
Zayyan menekan tombol daya ponselnya dengan gugup, dan dalam beberapa detik, layar ponsel mulai menyala. Ia melihat puluhan panggilan tak terjawab, sebagian besar dari Mamanya. Hatinya terasa nyeri membayangkan kekhawatiran mereka. Belum sempat ia mencerna semuanya, ponselnya bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Nama Lex tertera di layar.
Dengan segera, Zayyan mengangkat panggilan itu, berharap suaranya tidak terdengar bergetar.
"Lex" bisiknya dengan suara serak.
"Zayyan! Di mana kamu? Kami semua khawatir!" terdengar suara Lex penuh kekhawatiran di seberang sana.
"Aku... Aku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir." ujar Zayyan mencoba terdengar tenang.
"Zayyan, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kau pergi tanpa memberi kabar bahkan sampai tidak masuk kuliah." tanya Lex yang masih khawatir.
"Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, Lex. Tapi aku mohon padamu, tolong sampaikan pada orang tua ku bahwa aku baik-baik saja." jawab Zayyan.
"Tidak bisa, Zayyan. Kau harus pulang sekarang. Mamamu sakit dan sekarang sedang di rawat di rumah sakit......" belum sempat Lex menyelesaikan ucapannya, Zayyan sudah lebih dulu berbicara.
"Apa?" teriak Zayyan kaget.
"Mama sakit? Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" tanyanya khawatir.
Lex terdiam sejenak sebelum menjawab,
"Kondisinya cukup serius, Zayyan. Dia terus mengkhawatirkanmu dan itu memperburuk kesehatannya."
Hati Zayyan semakin terpukul mendengar itu. Keputusasaan dan rasa bersalah berkecamuk dalam dirinya.
"Lex, aku tidak tahu apakah aku bisa pulang atau tidak. Tapi aku akan berusaha untuk kembali." ujar Zayyan lemah.
"Zayyan, sebenarnya apa yang terjadi denganmu?" tanya Lex, suaranya terdengar khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apple Magic (Sing & Zayyan)
FanfictionZayyan yang sering diperlakukan buruk oleh Sing adik tirinya tiba-tiba mendapatkan kekuatan magis yang tidak di duga-duga. Ia bisa mendengar suara hati seseorang serta bisa membaca pikiran orang lain hanya dengan menyentuhnya. Dan sejak memiliki kek...