Setahun telah berlalu sejak kepergian Qionglin, namun bayangannya masih sering hadir dalam benak Leo. Meski rasa kehilangan itu begitu mendalam, Leo telah belajar untuk merelakan, seperti halnya ia pernah merelakan kepergian adik tercintanya dulu. Kini, yang menjadi sumber kekuatannya adalah Zayyan. Setiap senyuman Zayyan, setiap tawa yang menghiasi wajahnya, adalah kebahagiaan tersendiri bagi Leo, meskipun perasaan yang ia miliki tetap terpendam, tersembunyi dalam hatinya yang paling dalam.
Leo sadar, mengungkapkan perasaannya hanya akan menambah beban di hati Zayyan. Baginya, cinta tidak selalu harus memiliki. Melihat Zayyan bahagia sudah lebih dari cukup. Ia memilih untuk menjadi teman setia, sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka, mengiringi setiap langkah Zayyan dari kejauhan, dengan kasih sayang yang tak terucapkan namun tulus adanya. Di balik semua itu, Leo berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu mendukung kebahagiaan Zayyan, meskipun itu berarti harus merelakan perasaannya sendiri.
Di tengah lamunannya, Leo tiba-tiba tersentak ketika menyadari kehadiran Wuxian di sampingnya.
"Aku tadi mencarimu di kelas, tapi kau tidak ada," ujar Wuxian sambil duduk di sebelah Leo.
"Dan ternyata kau malah di sini."
"Ada apa?" tanya Leo dengan suara datar tanpa menoleh.
"Kau tidak ingin pergi melihat Kak Zayyan dan mengucapkan selamat kepadanya?" tanya Wuxian dengan nada penuh perhatian.
"Apa acaranya sudah selesai?" Leo akhirnya menoleh, menatap sahabatnya.
"Iya, dan sekarang mereka sedang berada di halaman fakultas untuk mengambil gambar kenang-kenangan bersama." jawab Wuxian dengan senyum tipis.
"Ayo!" Leo berkata sambil berdiri, bersiap untuk melangkah.
Namun, Wuxian tiba-tiba menghentikannya dengan lembut.
"Leo, apa kau tidak ingin mengungkapkan perasaanmu kepada Kak Zayyan? Sebelum semuanya terlambat." ucap Wuxian dengan nada serius, matanya menatap Leo penuh harap.
Leo terdiam sejenak, merasakan hatinya berkecamuk. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara yang nyaris berbisik.
"Melihatnya saja sudah cukup."
Tanpa menunggu tanggapan, Leo melangkah pergi, meninggalkan Wuxian yang hanya bisa menatap punggung sahabatnya itu dengan rasa prihatin. Wuxian tahu, di balik sikap tegar Leo, ada perasaan yang begitu dalam, namun terbungkam oleh ketakutan dan keinginan untuk tidak membebani orang yang dicintainya. Tapi Wuxian juga tahu, waktu tidak akan menunggu, dan kadang-kadang, kesempatan kedua tidak akan datang.
Tidak butuh waktu lama bagi Leo untuk tiba di Fakultas Zayyan. Dari kejauhan, ia sudah bisa melihat Zayyan bersama teman-temannya, tawa mereka terdengar begitu riang. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Leo menangkap sesuatu yang lain di mata Zayyan, sebuah kekosongan yang sulit dijelaskan. Pasti karena Sing tidak ada di sini, pikir Leo.
Dengan langkah perlahan, Leo mendekat, Wuxian mengikuti di belakangnya, seolah memberikan dukungan tak terlihat. Tiba-tiba, Lex yang menyadari kehadiran Leo, melambaikan tangan dan tersenyum lebar.
"Leo, kau di sini!"
Leo membalas senyuman itu dengan tulus.
"Selamat atas kelulusan kalian." ucap Leo menyerahkan buket bunga yang telah ia siapkan satu demi satu kepada Lex, Wain, dan yang terakhir kepada Zayyan.
“Zay ge, selamat. Aku turut bahagia untukmu.” ucap Leo, suaranya lembut, penuh dengan ketulusan yang tak bisa disembunyikan.
Zayyan menerima buket itu dengan senyuman yang hangat, meski matanya masih menyiratkan keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apple Magic (Sing & Zayyan)
FanfictionZayyan yang sering diperlakukan buruk oleh Sing adik tirinya tiba-tiba mendapatkan kekuatan magis yang tidak di duga-duga. Ia bisa mendengar suara hati seseorang serta bisa membaca pikiran orang lain hanya dengan menyentuhnya. Dan sejak memiliki kek...